MAKALAH
ILMU
PENDIDIKAN ISLAM
LEMBAGA
PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN
PENGAMPU: SAPARUDIN, M.Ag.
DISUSUN
OLEH: KELOMPOK 7
KELAS:
III A
BAIQ
WIDIA NITA KASIH (15.1.11.1.015)
MUHAMMAD
IMANUDDIN (15.1.11.1.021)
FAHRURROZI
(15.1.11.1.195)
KAMRINA
KHOTIMAH (15.1.11.1.001)
MUHAMMAD
HAMZAH (15.1.11.1.003)
JURUSUN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
ISTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Lembaga pendidikan merupakan hal
yang sangat penting dalam mencapai keberhasilan proses pendidikan karena
lembaga berfungsi sebagai mediator dalam mengatur jalannya pendidikan. Dan pada
zaman sekarang ini tampaknya tidaklah disebut pendidikan jika tidak ada
lembaganya.
Lembaga pendidikan dewasa ini juga
sangat mutlak keberadaannya bagi kelancaran proses pendidikan. Apalagi lembaga
pendidikan itu dikaitkan dengan konsep islam. Lembaga pendidikan islam
merupakan suatu wadah dimana pendidikan dalam ruang lingkup keislaman
melaksanakan tugasnya demi tercapainya cita-cita umat islam.
Keluarga, masjid, pondok pesantren
dan madrasah merupakan lembaga-lembaga pendidikan islam yang mutlak diperlukan
di suatu negara secara umum atau disebuah kota secara khususnya, karena lembaga-lembaga
itu ibarat mesin pencetak uang yang akan menghasilkan sesuatu yang sangat
berharga, yang mana lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri akan mencetak sumber
daya manusia yang berkualitas dan mantap dalam aqidah keislaman. Oleh karena
itu, dalam makalah ini kami akan membahas masalah yang berkaitan dengan lembaga
pendidikan islam tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
Dari latar
belakang diatas kami dapat memberikan beberapa rumusan masalah, yaitu:
1.
Apakah
pengertian lembaga pendidikan islam?
2.
Apa
saja jenis-jenis lembaga pendidikan islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Secara etimologi lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang
memberi bentuk pada yang lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan
suatu penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha. Dari pengertian di atas
dapat dipahami bahwa lembaga mengandung dua arti, yaitu: 1) pengertian secara
fisik, materil, kongkrit, dan 2) pengertian secara non-fisik, non-materil, dan
abstrak.[1]
Dalam bahasa inggris, lembaga disebut institute (dalam
pengertian fisik), yaitu sarana atau organisasi untuk mencapai tujuan tertentu,
dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau abstrak disebut institution, yaitu
suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga dalam pengertian fisik
disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengertian nonfisik disebut
dengan pranata.[2]
Secara terminologi, Amir Daiem mendefinisikan lembaga
pendidikan dengan orang atau badan yang
secara wajar mempunyai tanggung jawab terhadap pendidikan. Rumusan definisi
yang dikemukakan Amir Daiem ini memberikan penekanan pada sikap tanggung jawab
seseorang terhadap peserta didik, sehingga dalam realisasinya merupakan suatu keharusan
yang wajar bukan merupakan keterpaksaan. Definisi lain tentang lembaga
pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas
pola-pola tingkah laku, peranan-peranan relasi-relasi yang terarah dalam
mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum, guna
tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.[3]
Daud Ali dan Habibah
Daud menjelaskan bahwa ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian
lembaga, pertama pengertian secara fisik, materil, kongkrit dan kedua pengertian
secara non fisik, non materil dan abstrak. Terdapat dua versi pengertian
lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari segi fisik menampakkan
suatu badan dan sarana yang didalamnya ada beberapa orang yang menggerakkannya,
dan ditinjau dari aspek non fisik lembaga merupakan suatu sistem yang berperan
membantu mencapai tujuan.[4]
Adapun lembaga pendidikan islam secara terminologi dapat diartikan
suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan islam. Dari definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian
kongkrit berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian yang abstrak, dengan
adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu, serta penananggung jawab
pendidikan itu sendiri.[5]
B.
JENIS-JENIS LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakkir (2008) mengemukakan beberapa jenis lembaga pendidikan islam,
yaitu keluarga, masjid, pondok pesantren dan madrasah.
Keluarga Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ‘ali, dan
nasb. Keluarga dapat diperoleh melalui keturunan (anak, cucu), perkawinan
(suami, istri), persusuan, dan pemerdekaan.[6]
Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan islam disyaratkan
dalam al-Quran:[7]Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka”. (Q.S. al-Tahrim : 6)
Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu memiliki kewajiban dan
memiliki bentuk yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Ayah berkewajiban
mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhaan keluarganya melalui pemanfaatan
karunia Allah SWT di muka bumi (QS. Al-Jumu’ah : 10) dan selanjutnya
dinafkahkan pada anak istrinya (QS. al-Baqarah: 228, 233). Kewajiban ibu adalah
menjaga, memelihara dan mengelola keluarga di rumah suaminya, terlebih lagi
mendidik dan merawat anaknya. Dalam sabda Nabi SAW. dinyatakan: “Dan
perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanyai dari pimpinannya
itu” (HR. Bukhari-Muslim).[8]
Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan keluarga
dapat mencetak anak agar mempunyai kepribadian yang kemudian dapat dikembangkan
dalam lembaga-lembaga berikutnya, sehingga wewenang lembaga-lembaga tersebut
tidak diperkenankan mengubah apa yang telah dimilikinya, tetapi cukup dengan
mengombinasikan antara pendidikan yang diperoleh dari keluarga dengan
pendidikan lembaga tersebut, sehingga masjid, pondok pesantren dan sekolah
merupakan tempat peralihan dari pendidikan keluarga.[9]
Secara umum, kewajiban orang tua pada anak-anaknya adalah sebagi
berikut:[10]
1.
Mendo’akan
anak-anaknya dengan do’a yang baik. (QS. al-Furqan: 74)
2.
Memelihara
anak dari api neraka. (QS. at-Tahrim: 6)
3.
Menyerukan
shalat pada anaknya. (QS. Thaha: 132)
4.
Menciptakan
kedamaian dalam rumah tangga. (QS. an-Nisa’: 128)
5.
Mencintai
dan menyayangi anak-anaknya. (QS. ali Imran: 140)
6.
Bersikap
hati-hati terhadap anak-anaknya. (QS. al-Taghabun: 14)
7.
Mencari
nafkah yang halal. (QS. al-Baqarah: 233)
8.
Mendidik
anak agar berbakti pada bapak-ibu (QS. an-Nisa’: 36, al-An’am: 151, al-Isra’:
23) dengan cara mendo’akannya yang baik.
9.
Memberi
air susu sampai 2 tahun. (QS. al-Baqarah: 233)
Peranan para orang tua sebagai pendidik adalah:[11]
1.
korektor,
yaitu bagi perbuatan yang baik dan yang buruk agar anak memiliki kemampuan
memilih yang terbaik bagi kehidupannya;
2.
inspirator,
yaitu yang memberikan ide-ide positif bagi pengembangan kreativitas anak;
3.
informator,
yaitu memberikan ragam informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan kepada anak agar
ilmu pengetahuan anak didik semakin luas dan mendalam;
4.
organisator,
yaitu memiliki keampuan mengelola kegiatan pembelajaran anak yang baik dan
benar;
5.
motivator,
yaitu mendorong anak semakin aktif dan kreatif dalam belajar;
6.
inisiator,
yaitu memiliki pencetus gagasan bagi pengembangan dan kemajuan pendidikan anak;
7.
fasilitator,
yaitu menyediakan fasilitas pendidikan dan pembelajaran bagi kegiatan belajar
anak;
8.
pembimbing,
yaitu membimbing dan membina anak ke arah kehidupan yang bermoral, rasional,
dan berkepribadian luhur sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam dan semua norma
yang berlaku di masyarakat.
Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Secara harfiah,
masjid adalah “tempat untuk bersujud”. Namun, dalam arti terminologi, masjid diartikan
sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang luas[12].
Dalam bahasa Indonesia, masjid diartikan rumah tempat bersembahyang bagi orang
Islam. Di dalam bahasa inggris, kata masjid merupakan terjemahan dari kata mosque.[13]
Pendidikan Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan di masjid
sebagai lembaga pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan
sutau lingkaran (lembaga) dan ditumbuhkannya. Dewasa ini, fungsi masjid mulai
menyempit, tidak sebagaimana pada zaman Nabi SAW. Hal itu terjadi karena
lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat, sehingga masjid terkesan
sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya, masjid merupakan sentral
kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan,
dan pusat pemukiman, serta sebagai tempat ibadah dan I’tikaf.[14]
Al-‘Abdi menyatakan
bahwa masjid merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan. Dengan
menjadikan lembaga pendidikan dalam masjid, akan terlihat hidupnya
Sunnah-sunnah Islam, menghilangkan segala bid’ah, mengembangkan hukum-hukum
Tuhan, serta menghilangnya stratafikasi status sosial-ekonomi dalam pendidikan.
Karena itu, masjid merupakan lembaga kedua setelah lembaga pendidikan keluarga.[15]
Fungsi masjid dapat lebih efektif bila di dalamnya disediakan
fasilitas-fasilitas terjadinya proses belajar mengajar. Fasilitas yang
diperlukan adalah sebagai berikut:[16]
1.
Perpustakaan,
yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan.
2.
Ruang
diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum dan sesudah shalat jamaah.
Program inilah yang dikenal dengan istilah “I’tikaf ilmiah”.
3.
Ruang
kuliah, baik digunakan untuk traning (tadrib) remaja masjid, atau juga untuk
Madrasah Diniyah. Omar Amin Hoesin memberi istilah ruang kuliah tersebut
dengan Sekolah Masjid. Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi
keagamaan untuk membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya
lebih minim dibandingkan dengan proporsi materi umum.
4.
Apabila
memungkinkan, teknik khotbah dapat diubah dengan teknik komunikasi transaksi,
yakni antara khatib dengan para audien, terjadi dialog aktif satu sama lain,
sehingga situasi dalam khotbah menjadi semakin aktif dan tidak monoton. Teknik
dialog (hiwar) dapat diterapkan dalam khotbah Jumat manakala memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a.
Syarat
dan rukun khotbah masih diberlakukan.
b.
Jamaah
shalat rata-rata terdiri dari kaum intelektual atau kaum cendikiawan, sehingga
hanya memungkinkan di masjid perkotaan, pesantren dan masjid kampus.
c.
Diperlukan
khatib (moderator) yang berwibawa, alim, dan professional, sehingga ia dapat
mengarahkan jalannya diskusi dalam situasi khotbah dengan baik.
d.
Perlu
adanya perencanaan yang matang, sehingga jauh-jauh sebelumnya para audien sudah
siap terlibat langsung.
e.
Masalah
yang dibahas harus masalah yang waqiyah, yakni masalah-masalah
kontemporer yang sedang hangat menimpa umat.
Menurut Abuddin Nata, terdapat dua peran yang dilakukan oleh
masjid. Pertama, peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dan
nonformal. Peran masjid sebagai lembaga pendidikan informal dapat dilihat dari
segi fungsinya sebagai tempat ibadah shalat lima waktu, shalat Idul Fitri, Idul
Adha, berzikir dan berdo’a. Pada semua kegiatan ibadah tersebut terdapat nilai-nilai
pendidikan mental spiritual yang amat dalam. Adapun peran masjid sebagai
lembaga pendidikan nonformal dapat terlihat dari sejumlah kegiatan pendidikan
dan pengajaran dalam bentuk halaqoh (lingkaran studi) yang dipimpin oleh
seorang ulama dengan materi utamanya tentang ilmu agama Islam dengan berbagai
cabangnya. Kegiatan tersebut berlangsung mengalir sedemikian rupa, tanpa sebuah
aturan formal yang tertulis dan mengikat secara kaku. Kedua, peran
masjid sebagai lembaga pendidikan sosial kemasyarakatan dan kepemimpinan.
Hal-hal yang berkaitan dengan kepentinagan masyarakat dapat dipelajari di
masjid dengan cara melibatkan diri dalam berbagai kegiatan yang bersiafat
amaliah. Mereka yang banyak terlibat dan aktif dalam berbagai kegiatan di
masjid akan memiliki bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemandirian dalam
melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan dan kepemimpinan.[17]
Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam
Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu
pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid
tetapi juga pada lembaga-lembaga yang ketiga, yaitu “kuttab” (pondok
pesantren). Kuttab, dengan karateristik khasnya, merupakan wahana dan lembaga
pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem
halaqah (sistem wetonan). Pada tahap berikutnya kuttab mengalami perkembangan
pesat karena didukung oleh dana dari iuran masyarakat serta adanya
rencana-rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan peserta didik.[18]
Di Indonesia, istilah kuttab lebih dikenal dengan istilah
“pondok pesantren” yaitu suatu lemabaga pendidikan Islam yang di dalamnya
terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri
(peserta didik) dengan sarana masjid yang digunakan untuk menyelenggarakan
pendidikan tersebut, serta didukung adanya pemondokon atau asrama sebagai
tempat tinggal para santri. [19]
Menurut para ahli pesantren baru dapat disebut pesantren bila
memenuhi lima syarat, yaitu: (1) ada kiai, (2) ada pondok, (3) ada masjid, (4)
ada santri, (5) ada pelajaran membaca kitab kuning.[20]
Tujuan terbentuknya pondok pesantren adalah:[21]
1.
Tujuan
umum, yaitu membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian
Islam, yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam
masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya,
2.
Tujuan
khusus, yaitu mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu
agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta dalam mengamalkan dan
mendakwahkannya dalam masyarakat.
Sebagai lembaga yang tertua, sejarah perkembangan pondok pesantren
memiliki model-model pengajaran yang bersifat nonklasikal, yaitu model sistem
pendidikan dengan metode pengajaran wetonan dan serogan. Di Jawa
Barat, metode tersebut diistilahkan dengan benndungan, sedangkan di
Sumatera digunakan istilah halaqah.[22]
1.
Metode
wetonan (halaqah). Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiai yang
membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab
yang sama lalu santri mendengar dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat
dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif.
2.
Metode
serogan. Metode yang santrinya cukup pandai men-sorog-kan
(mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan
dalam bacaannya itu langsung dibenari kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai
proses belajar mengajar individual.
Ciri-ciri khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang
dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, morfologi
Arab, hukuk Islam, sistem yurisprudensi islam, Hadis, tafsir Al-Quran, teologi
islam, tasawuf, tarikh, dan retorika. Dan literatur ilmu-ilmu tersebut memakai
kitab-kitab klasik yang disebut dengan
istilah “kitab kuning”.[23]
Pada tahap selanjutnya, pondok pesantren mulai menampakkan
eksistensinya sebagai lembaga pendidikan islam yang terdapat, yaitu di dalamnya
didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal. Akhir-akhir ini pondok
pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka inovasi
terhadap sistem yang selama ini digunakan, yaitu:[24]
1.
Mulai
akrab dengan metodelogi modern.
2.
Semakin
berorientasi pada pendidikan yang fungsional, artinya terbuka atas perkembangan
di luar dirinya.
3.
Diversifikasi
program dan kegiatan makin terbuka dan ketergantungannya dengan kiai tidak
absolute, dan sekaligus dapat membekali para santri dengan berbagai pengetahuan
di luar mata pelajaran agama maupun keterampilan yang diperlukan di lapangan
kerja
4.
Dapat
berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat.
Di pihak lain, pondok pesantren kini mengalami transformasi kultur,
sistem dan nilai. Pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini
telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai
jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus
transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan
yang drastis, misalnya:[25]
1.
perubahan
sistem pengajaran dari perseorangan atau serogan menjadi sistem klasikal yang
kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah);
2.
pemberian
pengetahuan umum disamping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa
arab;
3.
bertambahnya
komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan masyarakat sekitar, kepramukaan untuk melatih
kedisiplinan dan pendidikan agama, kesehatan dan olahraga, serta kesenian yang
islami;
4.
lulusan
pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren
tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah
negeri.
Madrasah Sebagai Lembaga Pendidiakan Islam
Madrasah adalah isim masdar dari kata darasa yang
berarti sekolah atau tempat untuk belajar. Dalam perkembangan selanjutnya,
madrasah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan.
Adapun sekolah sering dipahami sebagai lembaga pendidikan yang berbasis pada
ilmu pengetahuan pada umumnya. Madrasah sebagai lembaga pendidikan merupakan
fenomena yang merata di seluruh negara, baik pada negara-negara Islam, maupun
negara lainnya yang di dalamnya terdapat komunitas masyarakat Islam.[26]
Sebagian ahli sejarah berpendapat, bahwa madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam muncul dari penduduk Nisapur, tetapi tersiarnya melalui
Perdana Menteri Bani Saljuk yang bernama Nidzam al-Muluk, melalui Madrasah
Nidzamiah yang didirikannya pada tahun 1065 M.[27]
Selanjutnya, Gibb dan Kramers menuturkan bahwa pendiri madrasah
terbesar setelah Nizam al-Mulk adalah Shalah al-Din al-Ayyubi.[28]
Kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya
mempunyai empat latar belakang, yaitu:[29]
1.
sebagai
manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam;
2.
usaha
penyempurnaan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang
lebih memungkinkan lulusannya untuk memperoleh kesempatan yang sama dengan
sekolah umum, misalnya masalah kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah;
3.
adanya
sikap mental pada sementara golongan umat Islam, khususnya santri yang terpukau
pada Barat sebagai sistem pendidikan mereka; dan
4.
sebagai
upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan
oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.
Menurut Abuddin Nata, khususnya di Indonesia dinamika
pertumbuhan dan perkembangan madrasah jauh lebih kompleks dibandingkan dengan
dinamika pertumbuhan dan perkembangan madrasah di negara lain. Selain terdapat
madrasah diniyah yang kurikulumnya terdiri dari mata pelajaran agama: Al-quran,
al-Hadis, Fiqh/Ushul fiqh, Aqidah Akhlak, Sejarah Islam dan bahasa Arab juga
terdapat madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama, mulai dari
tingkat Ibtidaiyah hingga Aliyah. Madrasah Diniyah dimaksudkan untuk membangun
sikap keberagamaan dan pemahaman terhadap materi agama yang kuat, dan hanya
berlangsung hingga kelas empat. Adapun madrasah sebagai sekolah umum yang
berciri khas agama dimaksudkan untuk membangun sikap keberagamaan
(riligiusitas) bagi para pelajar yang nantinya akan menekuni bidang keahlian
sesuai dengan pilihannya. Di antara madrasah tersebut sebagian besar rata-rata
lebih dari 80% berstatus swasta, sedangkan sisanya berstatus madrasah negeri.[30]
Sekolah sebagai
lembaga pendidikan merupakan wahana yang benar-benar menenuhi elemen-elemen
institusi secara sempurna, yang tidak terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan
yang lain. Frank P. Besag dan Jack L. Nelson menyatakan elemen institusi
sekolah terdiri atas tujuh macam, yaitu:[31]
1.
Utility (kegunaan dan fungsi). Suatu lembaga sekolah diharapkan memberi
kontribusi terhadap tuntutan masyarakat
yang ada, tuntutan kelembagaan sendiri dan aktor.
2.
Actor (pelaku). Actor berperan dalam pelaksanaan tujuan dan fungsi
kelembagaan, sehingga actor tersebut mempunyai status dalam institusi tempat ia
berada.
3.
Organisasi. Organisasi dalam institusi tergambar dengan bebrerapa bentuk dan
hubungan-hubungannya antar-aktor.
4.
Share
in society (tersebar dalam masyarakat).
Institusi memberikan seperangkat nilai, ide, dan sikap dominan dalam
masyarakat, serta mempunyai hubungan-hubungan dengan institusi lain, baik
terhadap sistem politik, ekonomi masyarakat, kebudayaan, pengetahuan, dan
kepercayaan.
5.
Sanction (sanksi). Institusi memberikan penghargaan dan hukuman bagi actor.
Wewenang sanksi diperlakukan bila berhubungan dengan nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat tempat institusi berada, dan sanksi dijatuhkan sesuai dengan
ukurannya.
6.
Ceremony (upacara, ritus, dan simbol). Upacara dalam pendidikan dilakukan
sebagai pengikat tentang status, pengetahuan, dan nilai seperti acara wisuda.
7.
Resistance
to change (menentang perubahan). Institusi
berorientasi terhadap status quo akan menimbulkan problem baru.
Institusi didirikan untuk tujuan sosial tertentu, sehingga ia hidup dengan cara
tertentu pula. Oleh karena itu, actor sering khawatir melakukan kesalahan,
walaupun hal-hal yang dilakukan mengandung inovasi positif. Perubahan yang
terjadi akan menjadi sorotan masyarakat.
Abuddin Nata (2010) mengemukakan beberapa jenis lembaga pendidikan islam,
yaitu:
1.
Rumah
(al-Bait)
2.
Masjid
dan Suffah
3.
Al-Kuttab,
Surau dan TPA
4.
Madrasah
5.
Al-Zawiyah
Kata zawiyah secara harfiah berasal dari kata inzawa,
yanzawi yang berarti mengamil tempat tertentu dari sudut masjid yang digunakan
untuk I’tikaf (diam) dan beribadah. Dengan demikian, Zawiyah merupakan tempat
berlangsungnya pengajian-pengajian yang mempelajari dan membahas dalil-dalil
naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan aspek agama serta digunakan para
kaum sufi sebagai tempat untuk halaqah berzikir dan tafakur untuk mengingat dan
merenungkan kaagungan Allah SWT.
6.
Al-Ribath
Secara harfiah, al-ribath artinya ikatan. Al-ribath
selanjutnya menjadi lembaga pendidikan yang secara khusus dibagun untuk
mendidik para calon sufi atau guru spiritual.
7.
Al-Maristan
Al-maristan dikenal sebagai lembaga ilmiah yang paling penting dan
sebagai tempat penyembuhan dan pengobatan pada zaman keemasan Islam. Di lembaga
ini, para dokter mengajarkan ilmu kedokteran dan mereka mengadakan studi dan
penelitian secara menyeluruh.
8.
Al-Qushur
(Istana)
Istana tempat kediaman khalifah, raja, sultan, dan keluarganya, selain
berfungsi sebagai pusat pengendali kegiatan pemerintahan, juga digunakan
sebagai tempat bagi berlangsungnya kegiatan pendidikan bagi para putra
khalifah, raja, dan sultan tersebut.
9.
Hawanit
al-Waraqin (Toko Buku)
10.
Al-Shalunat
al-Adabiyah (Sanggar Sastra)
Secara harfiah Al-Shalunat al-Adabiyah dapat diartikan
sebagai tempat untuk melakukan kegiatan pertunjukan pembacaan dan pengkajian
sastra, atau sebagai sanggar atau teater budaya, seperti Taman Ismail Marzuki
di Jakarta.
11.
Al-Badiyah
Al-badiyah secara harfiah dapat diartiakn sebagai tempat
mengajarkan bahasa Arab asli, yakni bahasa Arab yang belum tercampur oleh
pengaruh berbagai dialek bahasa asing. Di tempat ini berbagai warisan budaya
Arab pada zaman jahiliyah, seperti puisi, syair, da khotbah diajarkan.
12.
Al-Maktabat
(Perpustakaan)
BAB III
KESIMPULAN
Dari
pemaparan materi diatas kita dapat mengetahui bahwa lembaga pendidikan islam
itu adalah suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan islam.
Ada
beberapa jenis lembaga pendidikan Islam, misalnya:
1.
Keluarga adalah lembaga pendididkan pertama yang kita kenal dan yang menjadi
pendidik dalam keluarga adalah orang tua.
2.
Masjid adalah tempat untuk melakukan ibadah, selain itu juga masjid digunakan
sebagai tempat belajar (pendidikan).
3.
Pondok
Pesantren adalah lembaga pendidikan islam
yang mana didalamnya terdapat kiai sebagai pendidik, santri sebagai peserta
didik, masjid sebagai tempat untuk melaksanakan pendidikan dan asrama sebagai
tempat tinggal santri.
4.
Madrasah
adalah lembaga pendidikan yang berbasis keagamaan.
5.
Rumah
(al-Bait)
6.
Al-Kuttab,
Surau dan TPA
7.
Al-Zawiyah
8.
Al-Ribath
9.
Al-Maristan
10.
Al-Qushur
(Istana)
11.
Al-Shalunat
al-Adabiyah (Sanggar Sastra)
12.
Hawanit
al-Waraqin (Toko Buku)
13.
Al-Badiyah
14.
Al-Maktabat
(Perpustakaan)
DAFTAR PUSTAKA
Mujib,
Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. Ke-2. Jakarta:
Kencana.
Nata,
Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam.
Jakarta: Kencana.
Ramayulis.
2011. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. Ke-9. Jakarta: Kalam Mulia.
Salahudin,
Anas. 2011. Filsafat Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Tafsir, Ahmad.
2010. Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam. Cet. K-10.Bandung: Rosda.
[1]
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), Cet
ke.9, hlm. 277.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid. hlm. 278.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid.
[6]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:Kencana,
2008), Cet ke 2, hlm. 226.
[7]
Ramayulis, Op Cit., hlm. 283.
[8]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Loc Cit.
[9]
Ibid. hlm. 227.
[10]
Ibid. hlm 228.
[11]
Anas Salahudin, Filsafat Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011).
hlm. 216.
[12]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 231.
[13]
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010). Hlm. 102.
[14]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Loc. Cit.
[15]
Ibid. hlm 231-232.
[16]
Ibid. hlm. 232-233.
[17]
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 195.
[18]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 234.
[19]
Ibid.
[20]
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Dalam Perspektif Islam, (Bandung:
Rosda, 2010), Cet ke 10. hlm. 191.
[21]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 235.
[22]
Ibid. hlm. 236.
[23]
Ibid.
[24]
Ibid. hlm. 237.
[25]
Ibid.
[26]
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 199.
[27]
Ibid.
[28]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 241.
[29]
Ibid.
[30]
Abuddin Nata, Op. Cit., hlm. 201.
[31]
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Op. Cit., hlm. 242.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar