Jumat, 21 Desember 2012

ILMU PENDIDIKAN ISLAM



PEMBAHASAN SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER
ILMU PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PENGAMPU: SAPARUDIN, M.Ag.













DISUSUNOLEH:
NAMA           : BAIQ WIDIA NITA KASIH
NIM                : 15.1.11.1.015
SMSTR/KLS  : III/A




JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2012


1.      Aspek Pendidikan Sesuai dengan Tafsir Ayat-Ayat Tarbiyah
a.      Objek Pendidikan (QS. At-Tahrim ayat 6 dan QS. At-Taubah ayat 122)
Surat at-Tahrim ayat 6
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Menurut Tafsir Ibnu Katsir
Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’alaقُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan: “Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan: “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana mereka mengatakan: “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.”
Dari surat at tahrim ayat 6 ini kita dapat melihat bahwa yang menjadi objek pendidikan adalah mulai dari diri kita sendiri, kemudian keluarga serta kerabat terdekat kita.
Surat at-Taubah ayat 122

 Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Menurut Tafsir Al Azhar
Tuhan telah menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang yang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi berperang menurut kesanggupan masing-masing, baik secara ringgan ataupun secara berat. Maka dengan ayat ini, Tuhan pun menuntun hendaklah jihad itu dibagi kepada jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama. Jika yang pergi ke medan perang itu bertarung nyawa dengan musuh, maka yang tinggal di garis belakang memperdalam pengertian (Fiqh) tentang agama, sebab tidaklah kurang penting jihad yang mereka hadapi. Ilmu agama wajib diperdalam. Dan tidak semua orang akan sanggup mempelajari seluruh agama itu secara ilmiah. Ada pahlawan di medan perang, dengan pedang di tangan dan ada pula pahlawan di garis belakang merenung kitab. Keduanya penting dan keduanya isi-mengisi.
Suatu hal yang terkandung dalam ayat ini yang mesti kita perhatikan, yaitu alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, di antara mereka ada satu kelompok, supaya mereka memperdalam pengertian tentang agama.
Ayat ini adalah tuntunan yang jelas sekali tentang pembagian pekerjaan di dalam melaksanakan seruan perang. Alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, yaitu golongan kaum beriman yang besar bilangannya, yang berintikan penduduk kota Madinah dan kampung-kampung sekelilingnya. Dari golongan yang besar itu adakan satu kelompok; cara sekarangnya suatu panitia, atau suatu komisi, atau satu dan khusu’, yang tidak terlepas dari ikatan golongan besar itu, dalam rangka berperang. Tugas mereka ialah memperdalam pengertian, penyelidikan dalam soal-soal keagamaan.
Dari ayat ini kita dapat melihat bahwa berperang/jihad dan belajar agama adalah sesuatu yang penting. Dan keduanya saling mengisi. Tetapi tidak semua kaum muslimin yang harus ikut berperang, akan tetapi ada juga dari sebagian mereka yang harus  memperdalam ilmu agama. Jadi, objek pendidikan yang terdapat dalam ayat ini adalah sebagian dari kaum muslimin.
b.      Metode Pendidikan (QS. Al-Maidah ayat 67; an-Nahl ayat 125 dan Ibrahim ayat 24-25)
Surat al-Maidah ayat 67
Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
يَأَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مّآ أُنْزِ لَ إِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ
Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhan-mu kepadamu.
Imam Bukhori mengatakan bahwa Az-Zuhri pernah berkata, “Risalah adalah dari Allah, dan Rasul berkewajiban menyampaikannya, sedangkan kita diwajibkan menerimanya. Umatnya telah menyaksikan bahwa beliau Saw. telah menyampaikan risalah dan menunaikan amanat Tuhannya, serta menyampaikan kepada mereka dalam perayaan yang paling besar melalui khotbahnya, yaitu pada haji wada’. Saat itu di tempat tersebut terdapat kurang tebih empat puluh ribu orang dari kalangan sahabat-sahabatnya.
وَإِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Jika tidak engkau kerjakan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya.
Yakni jika engkau tidak menyampaikannya kepada manusia apa yang telah Aku perintahkan untuk menyampaikannya, berarti engkau tidak menyampaikan risalah yang dipercayakan Allah kepadamu. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa telah diketahui konsekwensi hal tersebut seandainya terjadi.
Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya Yaitu jika engkau sembunyikan barang suatu ayat yang diturunkan kepada mu dari Tuhanmu, berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya
وَاللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الْكَافِرِيْنَ
Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia.
Yakni sampaikanlah olehmu risalah-Ku, dan Aku akan memeliharamu, menolongmu dan mendukungmu serta memenangkanmu atas mereka, karena itu janganlah kamu takut dan jangan pula bersedih hati karena tiada seorang pun dari mereka dapat menyentuhmu dengan keburukan yang menyakitkanmu. Sebelum ayat ini diturunkan, Nabi saw selalu dikawal seperti yang disebutkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Yahya yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi’ah menceritakan “Siti Aisyah pernah bercerita bahwa disuatu malam Rasulluloh saw begadang, sedangkan Siti Aisyah r.a berada disisinya. Siti Aisyah bertanya “apakah gerangan yang membuatmu gelisah, wahai Rasulluloh? Maka Rasulluloh bersabda “Mudah-mudahan ada seorang lelaki soleh dari sahabatku yang mau menjagaku malam ini.
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, ketika kami berdua dalam keadaan demikian, tiba-tiba aku (Siti Aisyah) mendengar suara senjata, maka Rasulluloh saw bertanya, Siapakah orang ini? Seseorang menjawab saya Sa’d ibnu Malik. Rasulluloh bertanya apa yang sedang kamu lakukan? Sa’d menjawab “aku datang untuk menjagamu, wahai rasulluloh.” Siti Aisyah melanjutkan kisahnya Tidak lama kemudian aku mendengar tidur Rasulluloh saw.
إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الْكَافِرِيْنَ
Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
            Yakni sampaikanlah (risalah ini) olehmu dan Allah lah yang akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung didalam ayat lainnya yang berbunyi: Artinya: Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan). (Q.S Al-Baqarah Ayat 272)
            Dari ayat tersebut kita dapat mengetahui bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad mengenai cara menyampaikan risalah, yaitu dalam menyampaikan risalah tidak boleh ada yang ditutup-tutupi bahkan harus terang dan jelas. Dan metode pengajaran yang terdapat dalam ayat ini adalah metode suri teladan, diamana para pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan tidak boleh asal-asalan tapi harus merujuk pada pedoman mengajar.
Surat an-Nahl ayat 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
Menurut Tafsir Jalalayn
“Serulah (manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah (dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang halus) dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada hujah).  Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Maha tahu, yakni Maha tahu tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Maha tahu atas orang-orang yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum ada perintah berperang. Ketika Hamzah  dibunuh (dicincang dan meninggal dunia pada Perang Uhud)”
Dari ayat tersebut kita bisa melihat bahwa terdapat beberapa metode pengajaran dalam pendidikan, yaitu:
1.      Metode Hikmah maksudnya dalam penyampaian materi pendidikan menggunakan perkataan yang lemah lembut namun tegas dan benar serta disesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan bahasa peserta didik.
2.      Metode Mauizoh Hasanah maksudnya dengan memberikan nasihat-nasihat yang baik.
3.      Metode Mujadalah maksudnya metode diskusi/dialog.
Surat Ibrahim ayat 24-2
  
24. Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
25. Pohon itu memberikan buahnya pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Wahai manusia, tidakkah kalian mengetahui bagaimana Allah memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik seperti pohon yang baik. Kalimat yang baik adalah kalimat Tauhid, kalimat orang Islam dan kalimat menyeru dalam Al-qur’an. Dan pohon yang baik itu adalah pohon kurma. Pohon kurma disifati dengan 4 sifat, yaitu :
1.      Pohon yang baik itu adalah pohon yang enak dipandang baik bentuknya, baik aromanya, baik buahnya, baik kegunaannya (buahnya lezat) dan memberikan manfaat yang sangat besar.
2.      Akarnya teguh (sisa akarnya melekat dan kuat tidak akan tercabut).
3.      Cabangnya menjulang ke langit (keadaannya sempurna dapat memanjangkan daun), dan apabila daunnya jatuh maka akan membusuk didalam tanah, untuk itu buahnya harus bersih dari berbagai kotoran.
4.      Pohon itu memberikan buahnya setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya (akan berbuah setiap waktu dengan seizin Allah, kekuasaan-Nya, penciptaan-Nya dan Anugerah-Nya), dan apabila pohon-pohon itu memberikan buahnya setiap waktu itu sudah merupakan aturan musim.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa kalimat yang baik itu seperti ucapan dan pohon yang baik iyu adalah pohon kurma, begitu pula menurut Ibnu Ma’ud. Diriwayatkan pula dari Annas bin Amr dari Nabi Muhammad SAW dan hadits Ibnu Amr yang diriwayatkan oleh Bukhari berkata, “Rasululah SW bersabda: beritakan aku mengenai pohon yang menyerupai sifat orang-orang muslim, yang daunnya tidak berguguran baik di musim panas ataupun musim dingin dan memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizing Tuhan-Nya.”  Ibnu Amr berkata: sebagaimana terjadi pada diriku ketika Abu Bakar dan Umar melihat pohon kurma, kami tidak dapat berbicara apapun, sampai-sampai kami tidak dapat mengucapkan sesuatu. Rasulullah SAW berkata: itulah yang dinamakan pohon kurma.“ويضرب الله الآمثال ” Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia, supaya dapat menambah pemahaman dan akal fikiran juga gambaran mengenai pohon kurma tersebut, karena makna-makna perumpamaan itu harus dapat diterima oleh akal dengan perasaan yang melekat, menghilangkan sesuatu yang tersembunyi dan keraguan didalamnya sehingga dapat menjadikan makna tersebut sesuatu yang dapat disentuh oleh perasaan dan fikiran. Dalam hal ini, manusia mengajak kita untuk memikirkan adanya kebesaran Allah dengan adanya perumpamaan-perumpamaan ini, dan memikirkan hal-hal yang tersirat didalamnya untuk dapat memahami tujuan dari makna-makna tersebut.
Dari ayat ini kita dapat melihat bahwa Allah SWT telah memberikan gambaran kepada kita untuk merenungi ciptaan-Nya agar dapat diambil hikmah dan pelajaran darinya. Seperti ayat-ayat Allah yang memiliki kandungan-kandungan makna tersirat. Dan metode pengajaran dalam ayat ini adalah kontemplasi dan metode perumpamaan.
2.      Pengertian Ilmu Pendidikan Islam
a)      Secara Etimologi
Selama ini buku-buku ilmu pendidikan Islam telah memperkenalkan paling kurang tiga kata yang berhubungan dengan pendidikan Islam, yaitu al-Tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Jika ditelusuri ayat-ayat al-qur’an dan mata as-Sunnah secara mendalam dan komprehensif, sesungguhnya selain tiga kata tersebut masih terdapat kata-kata lain yang berhubungan dengan pendidikan, seperti:
Tarbiyah
Dalam leksikologi al-qur’an dan Assunah tidak ditemukan istilah al-tarbiyah, namun terdapat beberapa istilah kunci yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbbayani, nurabbi, yurbi, dan rabbani.
Jika istilah tarbiyah diambil dari fi’il madhinya (rabbbayani) maka ia memiliki arti memeperoduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengmbangkan, memlihara, membesarkan dan menjinakkan. Pemahaman tersebut diambil dari 3 ayat dalam al-qur’an.
1.      Q.S. Al-Isra’ ayat 24
Ayat ini menunjukkan pengasuhan dan pendidikan orang tua kepada anak-anaknya, yang tidak hanya mendidik pada domain jasmani, tetapi juga domain rohani.
2.      Q.S. As-Syu’ara ayat 18
Ayat ini menunjukkan pengasuhan fir’aun terhadap Nabi Musa sewaktu kecil, yang mana pengasuhan itu terbatas pada domain jasmani, tanpa melibatkan domain Rohani.
3.      Q.S. Al-Baqarah ayat 276
Ayat ini berkenaan dengan makna menumbuhkembangkan, dalam pengertian Tarbiyah, seperti Allah menumbuh kembangkan sedekah dan menghapus riba.
Menurut Fahr Al-Razi, istilah Rabbayani tidak hanya mencakup ranah kognitif, tetapi juga afektif. Sementara Syeikh Kutub menafsirkan istilah tersebut sebagtai pemeliharaan jasmani anak dan menumbuhklan kematangan mentalnya. Dua pendapat ini memberikan gambaran bahwa istilah tarbiyah mencakup 3 domain pendidikan yaitu, kognitif (cipataan), afektif (rasa) dan psikomotorik (karsa) dan dua aspek pendidikan yaitu jasmani dan rohani.
Meruju            k pada kesamaan akar kata, konsep tarbiyah selalu saja dikaitkan dengan konsep tauhid rubububiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah SWT dalam segala perbuatannya.
     Ta’lim
Ta’lim merupakan kata benda buatan (mashdar) yang berasal dari akar kata ‘alama. Sebagaian para ahli menerjemahkan tarbiyah dengen pendidikan, sedangkan ta’lim  diterjemahkan dengan pengajaran. Ta’lim lebih mengarah pada aspek kognitif, seperti pengajaran mata pelajaran Matematika.
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan ta’lim dengan proses transmisi berbagai ilmu pengetshuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Pengertian ini didasrakan atas ayat al-qur’an:
1.       Q.S. Al-Baqarah ayat 31.
Ayat ini berbicara tentang allama Tuhan kepada Nabi Adam a.s.
2.      Q.S. AL-Baqarah ayat 151
Ayat ini menunjukkan perintah Allah SWT kepada Rasul-Nya untuk mengajarkan atau ta’lim al-kitab dan Assunah kepada umatnya.
     Ta’dib
Ta’dib lazimnya diterjemahkan dengan pendidkan sopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan etika. Ta’dib yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan, peradaban atau kebudayaan. Menurut al-Naquiob Al-Atas ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara  berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan, sehingga membimbing kearah pengenalan dana pengakuan kekuatan dan keagungan Tuhan. Pengertian ini didasarkan hadits Nabi SAW:
1.      “Tuhanku telah mendidikku dan menjadikan baik pendiikannku.
2.      Aku diutus untuk memperbaiki kemulian akhlak (H.R. Malik Bin Anas dari Anas Bin Malik).
Riyadhah
Riyadhah secara bahasa diartikan dengan pengajaran dan pelatihan. Dalam pendidkan, kata ar-riyadhah diartikan mendidik jiwa anak dengan Akhlak Mulia.
Didalam al-qur’an maupun assunah kata al-riyadhah secara eksplisit tidak dijumpai, namun inti dan hakikat al-riyadhah dalam arti mendidik atau melatih mental spiritual agar senatiasa mematuhi ajaran Allah SWT amat banyak dijumpai.
     Tazkiyah
Di dalam al-Qur’an, kata al-Tazkiyah antara lain dapat dijumpai pada surat Jumu’ah ayat 2:
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Kata yuzakkihim pada ayat tersebut, menurut H.M. Qurais Shihab, dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.
Tadris
Kata al-tadris berasal dari kata darrasa–yudarrisu-tadrisan, yang dapat berarti teaching (pengajaran atau mengajarkan), instruction (printah), tution (kuliah, uang kuliah).
Didalam al-qur’an, kata al-tadris dengan derivasinya diulang sebnayak 6 kali, dengan uraian sebagai berikut:
1.      Q.S. Al-An’am:105
2.      Q.S. AL-A’raaf:169
3.      Q.S. Al-Qalam: 37
4.      Q.S. Saba’:34
Pada ayat-ayat tersebut, kata al-tadris mengandung arti mempelajari dan membaca yang pada hakikatnya merupakan aktivitas yang terjadi pada pengajaran atau proses pembelajaran. Ayt-ayat tersebut juga menginformasikan tentang objek yang dibaca atau dipelajari yaitu ayat-ayat yang terdapat di dalam kitab yang diturunkan oleh Allah SWT, yaitu Taurat, Zabur, Injil dan AL-qur’an. Ini menunjukkan bahwa setiap kegiatan pembelajaran mengharuskan adanya bahan ajar, yaitu sesuatu yang akan dijelaskan, dikemukakan dan dipahami oleh peserta didik.
b)        Tarbiyah lebih umum digunakan untuk menyebut pendidikan islam, karena:
1.      Menurut M. Athhiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh  Ramayulis tarbiyah lazim digunakan dalam pendidikan islam karena makna  tarbiyah lebih luas cakupannya dan menyangkut 4 aspek atau ranah yang dimiliki oleh peserta didik, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
2.      Sedangkan menurut Abdul Mujib tarbiyah juga berkaitan dengan tauhid rububiyah. Jadi dari sini kita dapat melihat bahwa tarbiyah memiliki unsur tauhid yang tinggi. Hal ini juga memberikan alasan kenapa tarbiyah lazim digunakan dalam pendidikan Islam.
3.      Karena lebih Populer di dalam dunia pendidikan Islam.
c)         Secara Terminologi
1)            Menurut Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani, pendidikan adalah proses mengubah tingklah laku individu, pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.
2)            Menurut Hasan Langgulung, pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya di usahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak atau orang yang sedang dididik.
3)            Menurut Ahmad Fuad Al-Ahwaniy: Nizam nidzam ijtima’iy yan-ba’u min falsafah kulliumat, wa hua al-ladzi yath-biqu hadzihi al-falsafah au yabrizuha ila al-wujud. (Pendidikan adalah pranata yang bersifat sosial yang tumbuh dari pandangan hidup tiap masyarakat, pendidikan senantiasa sejalan dengan pandangan falsafah hidup masyarakat tersebut atau pendidikan itu ada hakikatnya mengaktualisasikan falsafah dalam kehidupan nyata).
4)            Menurut Ali Khalil Abul A’inin
Pendidikan adalah program yang bersifat kemasyarakatan dan oleh karena itu, setiap falsafah yang dianut oleh suatu masyarakat berbeda dengan falsafah yang dianut oleh suatu masyarakat sesuai dengan karakternya, serta kekuatan peradaban yang mempengaruhinya yang dihubungkan dengan upaya menegakkan spritual dan falsafah yang dipilih dan disetujui oleh kenyamanan hidupnya. Makna dari ungkapan tersebut ialah bahwa tujuan pendidikan diambil dari tujuan masyarakat, dan perumusan operasionalnya ditujukan untuk mencapai tujuan tersebut, dan disekitar tujuan pendidikan tersebut terdapat atmosper falsafah hidunya. Dari keadaan yang demikian itu, maka falsafah pendidikan yang terdapat dalam suatu masyarakat berbeda dengan falsafah pendidikan yang terdapat pada masyarakat lainnya, yang disebabkan perbedaan sudut pandang masyarakat, serta pandangan hidup yang berhubungan dengan sudut pandang tersebut.
5)            Menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasy: Pendidikan Islam tidak seluruhnya bersifat keagamaan, akhlak, dan spiritual, namun tujuan ini merupakan landasan bagi tercapainya tujuan yang bermanfaat. Dalam asas pendidikan Islam tidak terdapat pandangan yang bersifat materialistis, namun pendidikan Islam memandang materi, atau usaha mencari rizki sebagai masalah temporer dalam kehidupan, dan bukan ditujukan untuk mendapatkan materi semata mata, melainkan untuk mendapatkan manfaat yang seimbang. Di dalam pemikiran Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ikhwan Al-Shafa terdapat pemikiran, bahwa kesempurnaan seseorang tidak mungkin akan tercapai, kecuali dengan menyinerjikan antara agama dan ilmu.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses mengubah tingkah laku individu agar terbina potensi yang ada di dalam dirinya (psikis, fisik, akal, spiritual dan sosial) yang sesuai dengan karateristik Islam dan kebutuhan masyarakat.
3.      Dikotomi Ilmu Pengetahuan
a)      Latar belakang terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan pendidikan islam
Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan sebuah paradigma yang selalu marak dan hangat diperbincangkan dan tidak berkesudahan. Adanya dikotomi pengetahuan ini akan berimplikasi kepada dikotomi model pendidikan. Di satu pihak ada pendidikan yang hanya memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan di sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkemangan ilmu pengetahuan. Secara teoritis makna dikotomi pendidikan adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu tidak dapat dimasukan kepada yang lainnya, atau sebaliknya.
Berangkat dari definisi di atas dapat diartikan bahwa makna dikotomi adalah pemisahan suatu ilmu menjadi dua bagian yang satu sama lainnya saling memberikan arah dan makna yang berbeda dan tidak ada titik temu antara kedua jenis ilmu tersebut.
Dilihat dari kaca mata Islam, jelas sangat jauh berbeda dengan konsep Islam tentang ilmu pengetahuan itu sendiri karena dalam Islam ilmu pengetahuan dipandang dengan sesuatu yang utuh dan universal tidak ada istilah pemisahan atau dikotomi.
Apabila kita lihat saat ini, para ilmuan cenderung memisahkan (dikotomi) antara ilmu agama dengan ilmu keduniaan, sehingga hal inilah yang mendorong Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi untuk mendengungkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Al-Faruqi mengungkapkan sebagaimana yang kutib oleb Samsul Nizar bahwa zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang telah menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa yang terbawah. Di samping itu al-Faruqi juga mengatakan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai, tetapi syarat dengan nilai. Yang perlu diislamkan itu bukanlah orang tapi ilmunya, supaya orang yang belajar ilmu pengetahuan bisa terpola langsung pemikiran dan tingkah lakunya. Untuk mengislamisasiakan ilmu pengetahuan, jalan yang harus dilakukan adalah 1) menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan dalam berpikir, 2) melakukan pencarian terhadap ilmu-ilmu modern, 3) lakukan pendekatan filsafat dalam ilmu pengetahuan.
Maka dalam keadaan ini masyarakat muslim melihat kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan, hal ini menyebabkan kaum muslimin tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan westernisasi, dan ternyata westernisasi telah menjauhkan umat Islam dari al-Qur’an dan Sunnah. Sesungguhnya sangat dilematis ketika ingin meniru Barat yang telah jauh berkembang, tetapi kita malah menjadi hancur karena tidak mampu menfilter apa yang kita dapat bahkan kita malah menelan mentah-mentah padhal itu semua membawa kita kepada kehancuran.
Apabila kita analisis secara mendalam ada beberapa faktor penyebab terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan pendidikan islam. Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum kian jauh.
Kedua, faktor historis perkembangan umat islam ketika mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad pertengahan (tahun 1250-1800 M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini, hal ini disebabkan karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila dibandingkan dengan umat dan Negara lain.
Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
Setidaknya ada 2 pendapat tentang pembagian ilmu pengetahuan. Pertama terbagi akan tiga yakni: (1) Ilmu Alam (Natural Science), (2) Ilmu Sosial (Social Science), dan (3) Ilmu Agama. Kedua ilmu pengetahuan itu dibagi dua yakni: (1) Natural Science dan (2) Natural Social. Dan untuk ilmu agama dikelompokan ke dalam social science. 
Akibat dari lahirnya ilmu-ilmu, maka selanjutnya terjadilah dikotomi ilmu dan agama sebagaimana telah dikemukakan diatas.  Ilmu-ilmu alam, sosial dan humaniora dikelompokkan sebagai ilmu umum, bahkan dari sudut pandang konvensional ilmu ini diklaim sebagai ilmu sekuler. Sebaliknya, ilmu ushuluddin, ilmu tarbiyah, ilmu dakwah, ilmu syariah, ilmu adab dikelompokkan kedalam ilmu agama (islam). Semakin lama, dikotomi ilmu semakin kukuh.
Demikianlah bila dicermati perkembangan rekonstruksi ilmu pengetahuan yang menyebabkan dengan sendiri melahirkan terjadinya dikotomi pendidikan.
b)     Dampak dikotomi ilmu pengetahuan terhadap pengembangan pendidikan islam
Ikhrom mengemukakan bahwa setidaknya terdapat empat masalah/dampak akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, yaitu:
1. Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam.
Di mana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fil al din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka, sementara itu modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan umum ke dalam suatu lembaga telah mengubah citra pesantren sebagai lembaga taffaquh fil adin tersebut. Akibatnya, telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern yang sekuler.
2. Kesenjangan antar Sistem Pendidikan Islam dan Ajaran Islam
Sistem pendidikan yang masih bersifat ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Pandangan ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Islam memiliki ajraran integralistik yang mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisahkan dengan urusan akhirat, akan tetapi merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu, ilmu-ilmu umum harus dipahami sebagai bagian yang integral dari ilmu- ilmu agama.
3.  Disintegrasi Sistem Pendidikan Islam
Dengan adanya dikotomi pendidikan hal ini akan membawa dampak terjadinya disintegrasi sistem pendidikan yaitu ketidakpaduan dan ketidakpastian hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama
4.  Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam
Hal ini disebabkan karena pendidikan Barat kurang menghargai nilai-nilai kultur dan moral.
Selanjutnya, International Institut of Islamic Thought Herndon Virginia menyatakan bahwa, dikhotomi merupakan salah satu krisis utama umat yang berdampak pada beberapa ruang lingkup kehidupan umat, meliputi: konteks politik, konteks ekonomi, dan konteks kebudayaan dan agama.
c)      Upaya integrasi atau islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan islam
Definisi dari islamisasi dalam makna yang luas menunjukkan pada proses pengislaman, di mana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya. Dalam konteks islamisasi ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmu (thalib al almi)-nya, bukan ilmu itu sendiri. Wacana tentang integrasi antara ilmu dan agama sesungguhnya sudah muncul cukup lama, mesti tidak menggunakan kata integrasi secara ekplisit, di kalangan muslim modern gagasan perlunya pemaduan ilmu dan agama, atau akal dengan wahyu (iman) sudah cukup lama beredar. Cukup populer juga di kalangan muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated.
Upaya pembendungan dikotomi ilmu ini dapat dilakukan dengan upaya integrasi ilmu dalam Pendidikan Islam yang dimuat dalam tiga model islamisasi pengetahuan, yaitu: model purifikasi, modernisasi Islam dan Neo-Modernisme.
                                                 I.            Islamisasi Model Purifikasi
Purifikasi bermakna pembersihan atau penyucian. Dengan kata lain, proses Islamisasi berusaha menyelenggarakan pengendusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam secara kaffah, lawan dari berislam yang parsial. Ajaran ini bermakna bahwa setiap ilmuwan Muslim dituntut menjadi actor beragam yang loyal, concern dan commitment dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek kehidupannya, serta bersedia dan mampu berdedikasi sesuai minat, bakat, kemampuan, dan bidang keahliannya masing-masing dalam perspektif Islam untuk kepentingan kemanusiaan.
Model Islamisasi ini sebagaimana dikembangkan oleh Al-Faruqi dan Al-Attas. Adapun empat rencana kerja Islamisasi Pengetahuan Al-Faruqi, meliputi: (a) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan muslim, (b) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (c) indentifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya dengan ideal Islam, dan (d) rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi suatu paduan yang selaras dengan wawasan dan ideal Islam.
                                              II.            Islamisasi Model Modernisasi Islam
Modernisasi berarti proses perubahan menurut fitrah atau sunnatullah. Model ini berangkat dari kepedulian terhadap keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh sempitnya pola pikir dalam memahami agamanya, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama Islam tertinggal jauh dari bangsa non-muslim. Islamisasi disini cenderung mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan sosial, perkembangan IPTEK, adaktif terhadap perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.
Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut fitrah atau sunnatullah yang hak. Untuk melangkah modern, umat Islam dituntut memahami hukum alam (perintah Allah swt) sebelumnya yang pada giliran berikutnya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Modern berarti bersikap ilmiah, rasional,  menyadari keterbatasan yang dimiliki dan kebenaran yang didapat bersifat relatif, progresif-dinamis, dan senantiasa memiliki semangat untuk maju dan bangun dari keterpurukan dan ketertinggalan.
                                                III.            Islamisasi Model Neo-Modernisme
Model ini berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-Quran dan al-Hadits dengan mempertimbangkan khazanah intelektual Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan IPTEK.
Islamisasi model ini bertolak dari landasan metodologis; (a) persoalan-persoalan kotemporer umat harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhadap al-Quran, (b) bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kehidupan kotemporer, maka selanjutnya menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut, (c) melalui telaah historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang merupakan etika sosial al-Quran, (d) dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati relevansi dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang dihadapi umat tersebut, (e) al-Quran berfungsi evaluatif, legitimatif hingga pada tahap pemberi landasan dan arahan moral terhadap persoalan yang ditanggulangi.
Dari ketiga model Islamisasi di atas, kesemuanya bertujuan untuk memutuskan mata rantai dikotomi ilmu pengetahuan guna membangun kembali kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap merujuk pada kandungan al-Quran dan al-Hadits. Oleh karenanya, hendaknya selaku seorang pendidik, kita memahami krisis dan kemelut umat ini dengan baik agar dapat menghindari keberlanjutan praktik dikhotomi ilmu ini dalam dunia pendidikan yang digeluti.


 






 


DAFTAR PUSTAKA

Hamka. 1984. Tafsir Al Azhar Juz X. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. Ke-2. Jakarta: Kencana.
Nata, Abuddin. 2010.  Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Nizar, Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ramayulis. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. Ke-9. Jakarta: Kalam Mulia.