PEMBAHASAN
SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER
ILMU
PENDIDIKAN ISLAM
DOSEN PENGAMPU:
SAPARUDIN, M.Ag.
DISUSUNOLEH:
NAMA :
BAIQ WIDIA NITA KASIH
NIM :
15.1.11.1.015
SMSTR/KLS : III/A
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2012
1. Aspek Pendidikan
Sesuai dengan Tafsir Ayat-Ayat Tarbiyah
a. Objek Pendidikan (QS.
At-Tahrim ayat 6 dan QS. At-Taubah ayat 122)
Surat at-Tahrim ayat 6
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu,
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.
Menurut Tafsir Ibnu
Katsir
Mengenai
firman Allah subhanahu wa ta’ala, قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا “Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan,
“Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari Mujahid, hal itu sudah cukup
bagimu”) mengatakan: “Bertaqwalah kepada Allah dan berpesanlah kepada keluarga
kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah mengemukakan: “Yakni,
hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan mencegah mereka
durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah kepada
mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka dalam
menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah,
peringatkan dan cegahlah mereka.”
Demikian
itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana
mereka mengatakan: “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk
kerabat dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan
Allah Ta’ala kepada mereka dan apa yang dilarang-Nya.”
Dari
surat at tahrim ayat 6 ini kita dapat melihat bahwa yang menjadi objek
pendidikan adalah mulai dari diri kita sendiri, kemudian keluarga serta kerabat
terdekat kita.
Surat
at-Taubah ayat 122
Tidak sepatutnya bagi
mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.
Menurut Tafsir Al Azhar
Tuhan telah menganjurkan pembagian tugas. Seluruh orang
yang beriman diwajibkan berjihad dan diwajibkan pergi berperang menurut
kesanggupan masing-masing, baik secara ringgan ataupun secara berat. Maka
dengan ayat ini, Tuhan pun menuntun hendaklah jihad itu dibagi kepada jihad
bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama.
Jika yang pergi ke medan perang itu bertarung nyawa dengan musuh, maka yang tinggal di garis belakang
memperdalam pengertian (Fiqh) tentang agama, sebab tidaklah kurang penting
jihad yang mereka hadapi. Ilmu agama wajib diperdalam. Dan tidak semua orang
akan sanggup mempelajari seluruh agama itu secara ilmiah. Ada pahlawan di medan
perang, dengan pedang di tangan dan ada pula pahlawan di garis belakang
merenung kitab. Keduanya penting dan keduanya isi-mengisi.
Suatu hal yang terkandung dalam ayat ini yang mesti kita
perhatikan, yaitu alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu,
di antara mereka ada satu kelompok, supaya mereka memperdalam pengertian
tentang agama.
Ayat ini adalah tuntunan yang jelas sekali tentang
pembagian pekerjaan di dalam melaksanakan seruan perang. Alangkah baiknya
keluar dari tiap-tiap golongan itu, yaitu golongan kaum beriman yang besar
bilangannya, yang berintikan penduduk kota Madinah dan kampung-kampung
sekelilingnya. Dari golongan yang besar itu adakan satu kelompok; cara
sekarangnya suatu panitia, atau suatu komisi, atau satu dan khusu’, yang tidak
terlepas dari ikatan golongan besar itu, dalam rangka berperang. Tugas mereka
ialah memperdalam pengertian, penyelidikan dalam soal-soal keagamaan.
Dari
ayat ini kita dapat melihat bahwa berperang/jihad dan belajar agama adalah
sesuatu yang penting. Dan keduanya saling mengisi. Tetapi tidak semua kaum
muslimin yang harus ikut berperang, akan tetapi ada juga dari sebagian mereka
yang harus memperdalam ilmu agama. Jadi,
objek pendidikan yang terdapat dalam ayat ini adalah sebagian dari kaum muslimin.
b. Metode Pendidikan
(QS. Al-Maidah ayat 67; an-Nahl ayat 125 dan Ibrahim ayat 24-25)
Surat al-Maidah ayat 67
Hai
rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
يَأَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مّآ أُنْزِ لَ إِلَيْكَ مِنْ
رَّبِّكَ
Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang
diturunkan Tuhan-mu kepadamu.
Imam Bukhori mengatakan
bahwa Az-Zuhri pernah berkata, “Risalah adalah dari Allah, dan Rasul
berkewajiban menyampaikannya, sedangkan kita diwajibkan menerimanya. Umatnya
telah menyaksikan bahwa beliau Saw. telah menyampaikan risalah dan menunaikan
amanat Tuhannya, serta menyampaikan kepada mereka dalam perayaan yang paling
besar melalui khotbahnya, yaitu pada haji wada’. Saat itu di tempat tersebut
terdapat kurang tebih empat puluh ribu orang dari kalangan sahabat-sahabatnya.
وَإِنْ
لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
Jika tidak engkau kerjakan (apa yang diperintahkan itu)
berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya.
Yakni jika engkau tidak menyampaikannya
kepada manusia apa yang telah Aku perintahkan untuk menyampaikannya, berarti
engkau tidak menyampaikan risalah yang dipercayakan Allah kepadamu. Dengan kata
lain dapat disebutkan bahwa telah diketahui konsekwensi hal tersebut seandainya
terjadi.
Ali Ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari
Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya Yaitu jika engkau sembunyikan
barang suatu ayat yang diturunkan kepada mu dari Tuhanmu, berarti engkau tidak
menyampaikan risalah-Nya
وَاللهُ
يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الْكَافِرِيْنَ
Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia.
Yakni sampaikanlah olehmu risalah-Ku,
dan Aku akan memeliharamu, menolongmu dan mendukungmu serta memenangkanmu atas
mereka, karena itu janganlah kamu takut dan jangan pula bersedih hati karena
tiada seorang pun dari mereka dapat menyentuhmu dengan keburukan yang
menyakitkanmu. Sebelum ayat ini diturunkan, Nabi saw selalu dikawal seperti
yang disebutkan oleh Imam Ahmad, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah
menceritakan kepada kami Yahya yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar
Abdullah ibnu Amir ibnu Rabi’ah menceritakan “Siti Aisyah pernah bercerita
bahwa disuatu malam Rasulluloh saw begadang, sedangkan Siti Aisyah r.a berada
disisinya. Siti Aisyah bertanya “apakah gerangan yang membuatmu gelisah, wahai
Rasulluloh? Maka Rasulluloh bersabda “Mudah-mudahan ada seorang lelaki soleh
dari sahabatku yang mau menjagaku malam ini.
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya,
ketika kami berdua dalam keadaan demikian, tiba-tiba aku (Siti Aisyah)
mendengar suara senjata, maka Rasulluloh saw bertanya, Siapakah orang ini?
Seseorang menjawab saya Sa’d ibnu Malik. Rasulluloh bertanya apa yang sedang
kamu lakukan? Sa’d menjawab “aku datang untuk menjagamu, wahai rasulluloh.”
Siti Aisyah melanjutkan kisahnya Tidak lama kemudian aku mendengar tidur
Rasulluloh saw.
إِنَّ
اللهَ لاَ يَهْدِى الْقَوْمَ الْكَافِرِيْنَ
Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang kafir.
Yakni sampaikanlah (risalah ini)
olehmu dan Allah lah yang akan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung didalam ayat lainnya
yang berbunyi: Artinya: Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat
petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa
yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di
jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan janganlah kamu
membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan
cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan). (Q.S
Al-Baqarah Ayat 272)
Dari ayat tersebut kita dapat
mengetahui bahwa Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad mengenai cara
menyampaikan risalah, yaitu dalam menyampaikan risalah tidak boleh ada yang
ditutup-tutupi bahkan harus terang dan jelas. Dan metode pengajaran yang
terdapat dalam ayat ini adalah metode suri teladan, diamana para pendidik dalam
menyampaikan ilmu pengetahuan tidak boleh asal-asalan tapi harus merujuk pada
pedoman mengajar.
Surat an-Nahl ayat
125
Serulah (manusia) kepada jalan
Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.
Menurut
Tafsir Jalalayn
“Serulah
(manusia, wahai Muhammad) ke jalan Rabb-mu (agama-Nya) dengan hikmah
(dengan al-Quran) dan nasihat yang baik (nasihat-nasihat atau perkataan yang
halus) dan debatlah mereka dengan debat terbaik (debat yang terbaik seperti
menyeru manusia kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan menyeru manusia kepada
hujah). Sesungguhnya Rabb-mu, Dialah Yang Maha tahu, yakni Maha tahu
tentang siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dia Maha tahu atas orang-orang
yang mendapatkan petunjuk. Maka Allah membalas mereka. Hal ini terjadi sebelum
ada perintah berperang. Ketika Hamzah dibunuh (dicincang dan meninggal
dunia pada Perang Uhud)”
Dari
ayat tersebut kita bisa melihat bahwa terdapat beberapa metode pengajaran dalam
pendidikan, yaitu:
1.
Metode Hikmah maksudnya dalam
penyampaian materi pendidikan menggunakan perkataan yang lemah lembut namun
tegas dan benar serta disesuaikan dengan tingkat kecerdasan dan bahasa peserta
didik.
2.
Metode Mauizoh Hasanah maksudnya
dengan memberikan nasihat-nasihat yang baik.
3.
Metode Mujadalah maksudnya metode diskusi/dialog.
Surat Ibrahim ayat
24-2
24. Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,
25. Pohon itu memberikan buahnya
pada Setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan
itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.
Wahai manusia, tidakkah kalian mengetahui bagaimana Allah
memberikan perumpamaan mengenai kalimat yang baik seperti pohon yang baik.
Kalimat yang baik adalah kalimat Tauhid, kalimat orang Islam dan kalimat
menyeru dalam Al-qur’an. Dan pohon yang baik itu adalah pohon kurma. Pohon
kurma disifati dengan 4 sifat, yaitu :
1.
Pohon yang baik
itu adalah pohon yang enak dipandang baik bentuknya, baik aromanya, baik
buahnya, baik kegunaannya (buahnya lezat) dan memberikan manfaat yang sangat
besar.
2. Akarnya teguh (sisa akarnya melekat dan kuat tidak akan
tercabut).
3. Cabangnya menjulang ke langit (keadaannya sempurna dapat
memanjangkan daun), dan apabila daunnya jatuh maka akan membusuk didalam tanah,
untuk itu buahnya harus bersih dari berbagai kotoran.
4. Pohon itu memberikan buahnya setiap musim dengan seizin
Tuhan-Nya (akan berbuah setiap waktu dengan seizin Allah, kekuasaan-Nya,
penciptaan-Nya dan Anugerah-Nya), dan apabila pohon-pohon itu memberikan
buahnya setiap waktu itu sudah merupakan aturan musim.
Diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas, bahwa kalimat yang baik itu seperti ucapan dan pohon yang baik iyu
adalah pohon kurma, begitu pula menurut Ibnu Ma’ud. Diriwayatkan pula dari
Annas bin Amr dari Nabi Muhammad SAW dan hadits Ibnu Amr yang diriwayatkan oleh
Bukhari berkata, “Rasululah SW bersabda: beritakan aku mengenai pohon yang
menyerupai sifat orang-orang muslim, yang daunnya tidak berguguran baik di
musim panas ataupun musim dingin dan memberikan buahnya pada setiap musim
dengan seizing Tuhan-Nya.” Ibnu Amr berkata:
sebagaimana terjadi pada diriku ketika Abu Bakar dan Umar melihat pohon kurma,
kami tidak dapat berbicara apapun, sampai-sampai kami tidak dapat mengucapkan
sesuatu. Rasulullah SAW berkata: itulah yang dinamakan pohon kurma.“ويضرب الله الآمثال ”
Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia, supaya dapat menambah
pemahaman dan akal fikiran juga gambaran mengenai pohon kurma tersebut, karena makna-makna
perumpamaan itu harus dapat diterima oleh akal dengan perasaan yang melekat,
menghilangkan sesuatu yang tersembunyi dan keraguan didalamnya sehingga dapat
menjadikan makna tersebut sesuatu yang dapat disentuh oleh perasaan dan
fikiran. Dalam hal ini, manusia mengajak kita untuk memikirkan adanya kebesaran
Allah dengan adanya perumpamaan-perumpamaan ini, dan memikirkan hal-hal yang
tersirat didalamnya untuk dapat memahami tujuan dari makna-makna tersebut.
Dari ayat ini kita dapat melihat bahwa Allah SWT telah
memberikan gambaran kepada kita untuk merenungi ciptaan-Nya agar dapat diambil
hikmah dan pelajaran darinya. Seperti ayat-ayat Allah yang memiliki
kandungan-kandungan makna tersirat. Dan metode pengajaran dalam ayat ini adalah
kontemplasi dan metode perumpamaan.
2.
Pengertian Ilmu
Pendidikan Islam
a) Secara Etimologi
Selama ini buku-buku ilmu pendidikan Islam telah
memperkenalkan paling kurang tiga kata yang berhubungan dengan pendidikan
Islam, yaitu al-Tarbiyah, al-ta’lim, dan al-ta’dib. Jika ditelusuri ayat-ayat
al-qur’an dan mata as-Sunnah secara mendalam dan komprehensif, sesungguhnya
selain tiga kata tersebut masih terdapat kata-kata lain yang berhubungan dengan
pendidikan, seperti:
Tarbiyah
Dalam leksikologi
al-qur’an dan Assunah tidak ditemukan istilah al-tarbiyah, namun terdapat
beberapa istilah kunci yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbbayani,
nurabbi, yurbi, dan rabbani.
Jika istilah
tarbiyah diambil dari fi’il madhinya (rabbbayani) maka ia memiliki arti
memeperoduksi, mengasuh, menanggung, memberi makan, menumbuhkan, mengmbangkan,
memlihara, membesarkan dan menjinakkan. Pemahaman tersebut diambil dari 3 ayat
dalam al-qur’an.
1. Q.S. Al-Isra’ ayat 24
Ayat ini menunjukkan pengasuhan dan
pendidikan orang tua kepada anak-anaknya, yang tidak hanya mendidik pada domain
jasmani, tetapi juga domain rohani.
2. Q.S. As-Syu’ara ayat 18
Ayat ini menunjukkan pengasuhan fir’aun
terhadap Nabi Musa sewaktu kecil, yang mana pengasuhan itu terbatas pada domain
jasmani, tanpa melibatkan domain Rohani.
3. Q.S. Al-Baqarah ayat 276
Ayat ini berkenaan dengan makna
menumbuhkembangkan, dalam pengertian Tarbiyah, seperti Allah menumbuh
kembangkan sedekah dan menghapus riba.
Menurut Fahr
Al-Razi, istilah Rabbayani tidak hanya mencakup ranah kognitif, tetapi juga
afektif. Sementara Syeikh Kutub menafsirkan istilah tersebut sebagtai
pemeliharaan jasmani anak dan menumbuhklan kematangan mentalnya. Dua pendapat
ini memberikan gambaran bahwa istilah tarbiyah mencakup 3 domain pendidikan
yaitu, kognitif (cipataan), afektif (rasa) dan psikomotorik (karsa) dan dua
aspek pendidikan yaitu jasmani dan rohani.
Meruju k pada kesamaan akar kata, konsep
tarbiyah selalu saja dikaitkan dengan konsep tauhid rubububiyah. Tauhid
rububiyah adalah mengesakan Allah SWT dalam segala perbuatannya.
Ta’lim
Ta’lim merupakan kata benda buatan
(mashdar) yang berasal dari akar kata ‘alama. Sebagaian para ahli menerjemahkan
tarbiyah dengen pendidikan, sedangkan ta’lim
diterjemahkan dengan pengajaran. Ta’lim lebih mengarah pada aspek
kognitif, seperti pengajaran mata pelajaran Matematika.
Muhammad Rasyid Ridha mengartikan
ta’lim dengan proses transmisi berbagai ilmu pengetshuan pada jiwa individu
tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Pengertian ini didasrakan atas
ayat al-qur’an:
1. Q.S. Al-Baqarah ayat 31.
Ayat ini berbicara tentang allama Tuhan
kepada Nabi Adam a.s.
2. Q.S. AL-Baqarah ayat 151
Ayat ini menunjukkan perintah Allah SWT
kepada Rasul-Nya untuk mengajarkan atau ta’lim al-kitab dan Assunah kepada
umatnya.
Ta’dib
Ta’dib lazimnya diterjemahkan dengan
pendidkan sopan santun, tata krama, adab, budi pekerti, akhlak, moral, dan
etika. Ta’dib yang seakar dengan adab memiliki arti pendidikan, peradaban atau
kebudayaan. Menurut al-Naquiob Al-Atas ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan
kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam
tatanan penciptaan, sehingga membimbing kearah pengenalan dana pengakuan
kekuatan dan keagungan Tuhan. Pengertian ini didasarkan hadits Nabi SAW:
1. “Tuhanku telah mendidikku dan menjadikan baik pendiikannku.
2. Aku diutus untuk memperbaiki kemulian akhlak (H.R. Malik Bin
Anas dari Anas Bin Malik).
Riyadhah
Riyadhah secara bahasa diartikan dengan
pengajaran dan pelatihan. Dalam pendidkan, kata ar-riyadhah diartikan mendidik
jiwa anak dengan Akhlak Mulia.
Didalam al-qur’an maupun assunah kata
al-riyadhah secara eksplisit tidak dijumpai, namun inti dan hakikat al-riyadhah
dalam arti mendidik atau melatih mental spiritual agar senatiasa mematuhi ajaran
Allah SWT amat banyak dijumpai.
Tazkiyah
Di dalam al-Qur’an, kata
al-Tazkiyah antara lain dapat dijumpai pada surat Jumu’ah
ayat 2:
Dia-lah yang mengutus kepada kaum
yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya
kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As
Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang
nyata.
Kata yuzakkihim pada ayat tersebut,
menurut H.M. Qurais Shihab, dapat diidentikkan dengan mendidik, sedangkan
mengajar tidak lain kecuali mengisi benak anak didik dengan pengetahuan yang
berkaitan dengan alam metafisika serta fisika.
Tadris
Kata al-tadris berasal dari kata darrasa–yudarrisu-tadrisan, yang dapat berarti teaching (pengajaran
atau mengajarkan), instruction (printah), tution (kuliah, uang kuliah).
Didalam al-qur’an, kata al-tadris dengan derivasinya diulang
sebnayak 6 kali, dengan uraian sebagai berikut:
1. Q.S. Al-An’am:105
2. Q.S. AL-A’raaf:169
3. Q.S. Al-Qalam: 37
4. Q.S. Saba’:34
Pada
ayat-ayat tersebut, kata al-tadris mengandung arti mempelajari dan membaca yang
pada hakikatnya merupakan aktivitas yang terjadi pada pengajaran atau proses
pembelajaran. Ayt-ayat tersebut juga menginformasikan tentang objek yang dibaca
atau dipelajari yaitu ayat-ayat yang terdapat di dalam kitab yang diturunkan
oleh Allah SWT, yaitu Taurat, Zabur, Injil dan AL-qur’an. Ini menunjukkan bahwa
setiap kegiatan pembelajaran mengharuskan adanya bahan ajar, yaitu sesuatu yang
akan dijelaskan, dikemukakan dan dipahami oleh peserta didik.
b)
Tarbiyah lebih umum digunakan untuk menyebut pendidikan
islam, karena:
1. Menurut M. Athhiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh Ramayulis tarbiyah lazim digunakan dalam
pendidikan islam karena makna tarbiyah
lebih luas cakupannya dan menyangkut 4 aspek atau ranah yang dimiliki oleh
peserta didik, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
2. Sedangkan menurut Abdul Mujib tarbiyah juga berkaitan dengan
tauhid rububiyah. Jadi dari sini kita dapat melihat bahwa tarbiyah memiliki
unsur tauhid yang tinggi. Hal ini juga memberikan alasan kenapa tarbiyah lazim
digunakan dalam pendidikan Islam.
3. Karena lebih Populer di dalam dunia pendidikan Islam.
c)
Secara
Terminologi
1)
Menurut Omar
Muhammad al-Toumy al-Syaibani, pendidikan adalah proses mengubah tingklah laku
individu, pada kehidupan pribadi, masyarakat, dan alam sekitarnya, dengan cara pengajaran
sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai profesi di antara profesi-profesi
asasi dalam masyarakat.
2)
Menurut Hasan
Langgulung, pendidikan adalah suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya
di usahakan untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-kanak
atau orang yang sedang dididik.
3)
Menurut Ahmad
Fuad Al-Ahwaniy: Nizam nidzam ijtima’iy yan-ba’u min falsafah kulliumat, wa
hua al-ladzi yath-biqu hadzihi al-falsafah au yabrizuha ila al-wujud. (Pendidikan
adalah pranata yang bersifat sosial yang tumbuh dari pandangan hidup tiap
masyarakat, pendidikan senantiasa sejalan dengan pandangan falsafah hidup
masyarakat tersebut atau pendidikan itu ada hakikatnya mengaktualisasikan
falsafah dalam kehidupan nyata).
4)
Menurut Ali
Khalil Abul A’inin
Pendidikan adalah program yang bersifat
kemasyarakatan dan oleh karena itu, setiap falsafah yang dianut oleh suatu
masyarakat berbeda dengan falsafah yang dianut oleh suatu masyarakat sesuai
dengan karakternya, serta kekuatan peradaban yang mempengaruhinya yang
dihubungkan dengan upaya menegakkan spritual dan falsafah yang dipilih dan
disetujui oleh kenyamanan hidupnya. Makna dari ungkapan tersebut ialah bahwa
tujuan pendidikan diambil dari tujuan masyarakat, dan perumusan operasionalnya
ditujukan untuk mencapai tujuan tersebut, dan disekitar tujuan pendidikan
tersebut terdapat atmosper falsafah hidunya. Dari keadaan yang demikian itu,
maka falsafah pendidikan yang terdapat dalam suatu masyarakat berbeda dengan
falsafah pendidikan yang terdapat pada masyarakat lainnya, yang disebabkan
perbedaan sudut pandang masyarakat, serta pandangan hidup yang berhubungan
dengan sudut pandang tersebut.
5)
Menurut Muhammad
Athiyah Al-Abrasy: Pendidikan Islam tidak seluruhnya bersifat keagamaan,
akhlak, dan spiritual, namun tujuan ini merupakan landasan bagi tercapainya
tujuan yang bermanfaat. Dalam asas pendidikan Islam tidak terdapat pandangan
yang bersifat materialistis, namun pendidikan Islam memandang materi, atau
usaha mencari rizki sebagai masalah temporer dalam kehidupan, dan bukan
ditujukan untuk mendapatkan materi semata mata, melainkan untuk mendapatkan
manfaat yang seimbang. Di dalam pemikiran Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ikhwan
Al-Shafa terdapat pemikiran, bahwa kesempurnaan seseorang tidak mungkin akan
tercapai, kecuali dengan menyinerjikan antara agama dan ilmu.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan
oleh para ahli tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah
suatu proses mengubah tingkah laku individu agar terbina potensi yang ada di
dalam dirinya (psikis, fisik, akal, spiritual dan sosial) yang sesuai dengan
karateristik Islam dan kebutuhan masyarakat.
3.
Dikotomi
Ilmu Pengetahuan
a) Latar belakang terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan
pendidikan islam
Dikotomi ilmu pengetahuan merupakan sebuah paradigma yang
selalu marak dan hangat diperbincangkan dan tidak berkesudahan. Adanya dikotomi
pengetahuan ini akan berimplikasi kepada dikotomi model pendidikan. Di
satu pihak ada pendidikan yang hanya memperdalam ilmu pengetahuan modern yang
kering dari nilai-nilai keagamaan, dan di sisi lain ada pendidikan yang hanya
memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkemangan ilmu pengetahuan.
Secara teoritis makna dikotomi pendidikan adalah pemisahan secara teliti dan
jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu
tidak dapat dimasukan kepada yang lainnya, atau sebaliknya.
Berangkat dari definisi di atas dapat diartikan bahwa
makna dikotomi adalah pemisahan suatu ilmu menjadi dua bagian yang satu sama
lainnya saling memberikan arah dan makna yang berbeda dan tidak ada titik temu
antara kedua jenis ilmu tersebut.
Dilihat dari kaca mata Islam, jelas sangat jauh berbeda
dengan konsep Islam tentang ilmu pengetahuan itu sendiri karena dalam Islam
ilmu pengetahuan dipandang dengan sesuatu yang utuh dan universal tidak ada
istilah pemisahan atau dikotomi.
Apabila kita lihat saat ini, para ilmuan cenderung
memisahkan (dikotomi) antara ilmu agama dengan ilmu keduniaan, sehingga hal
inilah yang mendorong Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-Faruqi untuk
mendengungkan konsep Islamisasi ilmu pengetahuan.
Al-Faruqi mengungkapkan sebagaimana yang kutib oleb
Samsul Nizar bahwa zaman kemunduran umat Islam dalam berbagai bidang telah
menempatkan umat Islam berada di anak tangga bangsa-bangsa yang terbawah. Di
samping itu al-Faruqi juga mengatakan bahwa ilmu itu tidak bebas nilai,
tetapi syarat dengan nilai.
Yang perlu diislamkan itu bukanlah orang tapi ilmunya, supaya orang yang
belajar ilmu pengetahuan bisa terpola langsung pemikiran dan tingkah lakunya. Untuk mengislamisasiakan ilmu
pengetahuan, jalan yang
harus dilakukan adalah 1) menjadikan al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan
dalam berpikir, 2) melakukan pencarian terhadap ilmu-ilmu modern, 3) lakukan
pendekatan filsafat dalam ilmu pengetahuan.
Maka dalam keadaan
ini masyarakat muslim melihat
kemajuan Barat sebagai sesuatu yang mengagumkan, hal ini menyebabkan kaum muslimin
tergoda oleh kemajuan Barat dan berupaya melakukan reformasi dengan jalan
westernisasi, dan ternyata westernisasi telah menjauhkan umat Islam
dari al-Qur’an dan Sunnah. Sesungguhnya sangat dilematis ketika ingin meniru Barat
yang telah jauh berkembang, tetapi kita malah menjadi hancur karena tidak mampu
menfilter apa yang kita dapat bahkan kita malah menelan mentah-mentah padhal
itu semua membawa kita kepada kehancuran.
Apabila kita analisis secara mendalam ada beberapa faktor
penyebab terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan pendidikan islam. Pertama, faktor
perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat
sehinggga membentuk berbagai
cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya filsafat, dan
antara ilmu agama dengan ilmu umum kian jauh.
Kedua, faktor historis perkembangan umat islam ketika
mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad pertengahan (tahun 1250-1800
M), yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini, hal ini disebabkan
karena kesalahan sejarah (historical accident). Pada masa ini, dominasi fuqaha
dalam pendidikan Islam sangatlah kuat, sehingga terjadi kristalisasi anggapan
bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu
umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif. Akibat faktor ini, umat
dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK) bila dibandingkan dengan umat
dan Negara lain.
Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang
kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya
problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan
Negara yang berpenduduk mayoritas Islam.
Setidaknya
ada 2 pendapat tentang pembagian ilmu pengetahuan.
Pertama terbagi akan tiga yakni:
(1) Ilmu Alam (Natural Science),
(2) Ilmu Sosial (Social Science),
dan (3) Ilmu Agama.
Kedua ilmu pengetahuan
itu dibagi dua
yakni: (1) Natural Science dan (2) Natural Social. Dan untuk ilmu agama
dikelompokan ke dalam social science.
Akibat dari lahirnya ilmu-ilmu, maka selanjutnya
terjadilah dikotomi ilmu dan agama sebagaimana telah dikemukakan diatas. Ilmu-ilmu alam, sosial dan
humaniora dikelompokkan sebagai ilmu umum, bahkan dari sudut pandang
konvensional ilmu ini diklaim sebagai ilmu sekuler. Sebaliknya, ilmu
ushuluddin, ilmu tarbiyah, ilmu dakwah, ilmu syariah, ilmu adab dikelompokkan
kedalam ilmu agama (islam). Semakin lama, dikotomi ilmu semakin kukuh.
Demikianlah bila dicermati perkembangan rekonstruksi ilmu
pengetahuan yang menyebabkan dengan sendiri melahirkan terjadinya dikotomi
pendidikan.
b) Dampak
dikotomi ilmu pengetahuan terhadap pengembangan pendidikan islam
Ikhrom mengemukakan bahwa setidaknya
terdapat empat masalah/dampak akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama, yaitu:
1. Munculnya
ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam.
Di mana selama ini, lembaga-lembaga
semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan
Islam dengan corak tafaqquh fil al din yang menganggap persoalan
mu’amalah bukan garapan mereka, sementara itu modernisasi sistem pendidikan
dengan memasukan kurikulum pendidikan umum ke dalam suatu lembaga telah
mengubah citra pesantren sebagai lembaga taffaquh fil adin tersebut.
Akibatnya, telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya
menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan modern
yang sekuler.
2. Kesenjangan antar Sistem Pendidikan Islam dan Ajaran
Islam
Sistem pendidikan yang
masih bersifat ambivalen mencerminkan pandangan dikotomis yang memisahkan
ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Pandangan ini jelas
bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Islam memiliki ajraran
integralistik yang mengajarkan bahwa urusan dunia tidak terpisahkan dengan
urusan akhirat, akan tetapi merupakan satu kesatuan. Oleh karena itu, ilmu-ilmu
umum harus dipahami sebagai bagian yang integral dari ilmu- ilmu agama.
3.
Disintegrasi Sistem
Pendidikan Islam
Dengan adanya dikotomi pendidikan hal ini akan membawa
dampak terjadinya disintegrasi sistem pendidikan yaitu ketidakpaduan dan ketidakpastian
hubungan antara pendidikan umum dan pendidikan agama
4. Munculnya
inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam
Hal
ini disebabkan karena pendidikan Barat kurang menghargai nilai-nilai kultur dan
moral.
Selanjutnya, International
Institut of Islamic Thought Herndon Virginia menyatakan bahwa, dikhotomi
merupakan salah satu krisis utama umat yang berdampak pada beberapa ruang
lingkup kehidupan umat, meliputi: konteks politik, konteks ekonomi, dan konteks
kebudayaan dan agama.
c) Upaya
integrasi atau islamisasi ilmu pengetahuan dalam pendidikan islam
Definisi dari
islamisasi dalam makna yang luas menunjukkan pada proses pengislaman, di mana
objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek
lainnya. Dalam konteks islamisasi ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan
dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmu (thalib al almi)-nya,
bukan ilmu itu sendiri. Wacana tentang integrasi antara ilmu dan agama
sesungguhnya sudah muncul cukup lama, mesti tidak menggunakan kata integrasi
secara ekplisit, di kalangan muslim modern gagasan perlunya pemaduan ilmu dan
agama, atau akal dengan wahyu (iman) sudah cukup lama beredar. Cukup populer
juga di kalangan muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam
peradaban Islam, ilmu dan agama telah integrated.
Upaya
pembendungan dikotomi ilmu ini dapat dilakukan dengan upaya integrasi ilmu dalam
Pendidikan Islam yang dimuat dalam tiga model islamisasi pengetahuan, yaitu: model
purifikasi, modernisasi Islam dan Neo-Modernisme.
I.
Islamisasi Model Purifikasi
Purifikasi bermakna pembersihan atau
penyucian. Dengan kata lain, proses Islamisasi berusaha menyelenggarakan
pengendusan ilmu pengetahuan agar sesuai dengan nilai dan norma Islam secara kaffah,
lawan dari berislam yang parsial. Ajaran ini bermakna bahwa setiap ilmuwan
Muslim dituntut menjadi actor beragam yang loyal, concern dan commitment
dalam menjaga dan memelihara ajaran dan nilai-nilai Islam dalam aspek
kehidupannya, serta bersedia dan mampu berdedikasi sesuai minat, bakat,
kemampuan, dan bidang keahliannya masing-masing dalam perspektif Islam untuk
kepentingan kemanusiaan.
Model Islamisasi ini sebagaimana dikembangkan oleh Al-Faruqi
dan Al-Attas. Adapun empat rencana kerja Islamisasi Pengetahuan Al-Faruqi,
meliputi: (a) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan muslim, (b) penguasaan
khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (c) indentifikasi kekurangan-kekurangan
ilmu pengetahuan itu dalam kaitannya dengan ideal Islam, dan (d) rekonstruksi
ilmu-ilmu itu sehingga menjadi suatu paduan yang selaras dengan wawasan dan
ideal Islam.
II.
Islamisasi Model Modernisasi Islam
Modernisasi berarti proses perubahan
menurut fitrah atau sunnatullah. Model ini berangkat dari kepedulian terhadap
keterbelakangan umat Islam yang disebabkan oleh sempitnya pola pikir dalam
memahami agamanya, sehingga sistem pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan agama
Islam tertinggal jauh dari bangsa non-muslim. Islamisasi disini cenderung
mengembangkan pesan Islam dalam proses perubahan sosial, perkembangan IPTEK,
adaktif terhadap perkembangan zaman tanpa harus meninggalkan sikap kritis
terhadap unsur negatif dan proses modernisasi.
Modernisasi berarti berfikir dan bekerja menurut
fitrah atau sunnatullah yang hak. Untuk melangkah modern, umat Islam dituntut
memahami hukum alam (perintah Allah swt) sebelumnya yang pada giliran
berikutnya akan melahirkan ilmu pengetahuan. Modern berarti bersikap ilmiah,
rasional, menyadari keterbatasan yang dimiliki dan kebenaran yang didapat
bersifat relatif, progresif-dinamis, dan senantiasa memiliki semangat untuk
maju dan bangun dari keterpurukan dan ketertinggalan.
III.
Islamisasi Model Neo-Modernisme
Model
ini berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung
dalam al-Quran dan al-Hadits dengan mempertimbangkan khazanah intelektual
Muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang
ditawarkan IPTEK.
Islamisasi model ini
bertolak dari landasan metodologis; (a) persoalan-persoalan kotemporer umat
harus dicari penjelasannya dari tradisi, dari hasil ijtihad para ulama
terdahulu hingga sunnah yang merupakan hasil penafsiran terhadap al-Quran, (b)
bila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kehidupan
kotemporer, maka selanjutnya menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat
al-Quran yang dijadikan sasaran ijtihad ulama tersebut, (c) melalui telaah
historis akan terungkap pesan moral al-Quran sebenarnya yang merupakan etika
sosial al-Quran, (d) dari etika sosial al-Quran itu selanjutnya diamati
relevansi dengan umat sekarang berdasarkan bantuan hasil studi yang cermat dari
ilmu pengetahuan atas persoalan yang dihadapi umat tersebut, (e) al-Quran berfungsi
evaluatif, legitimatif hingga pada tahap pemberi landasan dan arahan moral
terhadap persoalan yang ditanggulangi.
Dari
ketiga model Islamisasi di atas, kesemuanya bertujuan untuk memutuskan mata
rantai dikotomi ilmu pengetahuan guna membangun kembali kebebasan penalaran
intelektual dan kajian-kajian rasional empirik dan filosofis dengan tetap
merujuk pada kandungan al-Quran dan al-Hadits. Oleh karenanya, hendaknya selaku
seorang pendidik, kita memahami krisis dan kemelut umat ini dengan baik agar
dapat menghindari keberlanjutan praktik dikhotomi ilmu ini dalam dunia
pendidikan yang digeluti.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. 1984. Tafsir Al Azhar
Juz X. Jakarta: Pustaka
Panjimas.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu
Pendidikan Islam. Cet. Ke-2. Jakarta: Kencana.
Nata, Abuddin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Nizar,
Samsul. 2007. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Ramayulis. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Cet.
Ke-9. Jakarta: Kalam Mulia.
http://cekgugenius.blogspot.com/2012/01/dikhotomi-dan-integrasi-ilmu-dalam.html (diakses,
Kamis 13-12-2012: pukul 23:35 WITA)
http://naymaelfayza.blogspot.com/2012/05/dikotomi-pendidikan-dan-sosiologis-ilmu.html (diakses, Kamis 13-12-2012: pukul
23:00 WITA)
http://keyakinanperjuangan.blogspot.com/2010/04/kajian-tafsir-surat-nahl-ayat-125.html (diakses,
Sabtu 15-12-2012: pukul 20:11 WITA)
http://muhammadhaydar.wordpress.com/2011/01/25/sekilas-tafsir-at-tahrim-ayat-6/
(diakses, Kamis 13-12-2012: pukul 23:00 WITA)