MAKALAH
PERKEMBANGAN
PEMIKIRAN DALAM ISLAM
SULTAN
MAHMUD II
DISUSUN
OLEH: KELOMPOK 5
KELAS:
II A
BAIQ
WIDIA NITA KASIH (15.1.11.1.015)
MUHAMMAD
ABDURRAHMAN (15.1.11.1.028)
NOVI
MULIYANTI (15.1.11.1.013)
JURUSUN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH
ISTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
MATARAM
2012
SULTAN MAHMUD II
A.
BIOGRAFI SULTAN MAHMUD II
Mahmud lahir di Istambul pada
tanggal 13 Ramadhan 1199 bertepatan dengan tanggal 20 Juli 1785 dan meninggal
pada tanggal 1 Juli 1839. Dia adalah sultan ke-33 dari sultan Kerajaan Ottoman
di Turki. Diangkat menjadi sultan pada tanggal 28 Juli 1808 menggantikan
kakaknya Mustafa IV sampai ia meninggal. Ayahnya bernama Salim III (sultan
ke-31). Sultan Mahmud II dipandang sebagai pelopor pembaruan di Kerajaan
Ottoman, sebanding dengan Muhammad Ali (1805-1849) yang memelopori pembaruan di
Mesir. Sementara itu dalam Kerajaan Ottoman, pembaruan sudah dimualai sejak
Sultan Mustafa IV sampai pada sultan-sultan sesudahnya, sehingga masa ini
disebut periode modern. Mahmud II semasa kecilnya selain memperoleh pendidikan
tradisional dalam bidang agama, juga memperoleh pendidikan pemerintahan dan
sastra (sastra Arab, Turki, dan Parsi). Dalam suatu pemberontakan tentara
Janissary (Turki: yeni cheri), pada masa pemerintahan Mustafa IV, semua
anggota keluarga Ottoman terbunuh kecuali Mahmud II yang sempat lolos. Dalam
kondisi demikianlah Mahmud II naik takhta.[1]
Di bagian pertama dari masa kesultanannya ia disibukkan oleh
peperangan dengan Rusia dan usaha menundukkan daerah-daerah yang mempunyai
kekuasaan otonomi besar. Peperangan dengan Rusia selesai pada tahun 1812 dan
kekuasaan otonomi daerah akhirnya dapat ia perkecil kecuali kekuasaan Muhammad
Ali Pasya di Mesir dan satu daerah otonomi lain di Eropa.[2]
B.
PEMIKIRAN SULTAN MAHMUD II
Setelah kekuasaannya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Usmani
bertambah kuat, Sultan Mahmud II melihat bahwa telah tiba masanya untuk memulai
usaha-usaha pembaharuan yang telah lama ada dalam pemikirannya. Sebagai
sultan-sultan lain, hal pertama yang menarik perhatiannya ialah pembaharuan di
bidang militer.[3]
Di tahun 1826 ia membentuk suatu korps tentara baru yang diasuh
oleh pelatih-pelatih yang dikirim oleh Muhammad Ali Pasya dari Mesir. Ia
menjauhi pemakaian pelatih-pelatih Eropa atau Kristen yang di masa lampau
mendapat tantangan dari pihak-pihak yang tidak setuju dengan pembaharuan.
Perwira-perwira tinggi Yeniseri menyetujui pembentukan korps baru itu, tetapi
perwira-perwira bawahan mengambil sikap menolak. Beberapa hari sebelum korps
baru itu mengadakan parade, Yeniseri berontak. Dengan mendapat restu dari Mufti
Besar Kerajaan Usmani, Sultan memberi perintah untuk mengepung Yeniseri yang
sedang berontak dan menghujani garnisun mereka dengan tembakan meriam.
Pertumpahan darah terjadi dan kira-kira seribu Yeniseri mati terbunuh.
Tempat-tempat mereka selalu berkumpul dihancurkan dan penyokong-penyokong
mereka dari golongan sipil ditangkapi. Tarekat Bektasyi, sebagai tarekat yang
banyak mempunyai anggotanya dari kalangan Yeniseri dibubarkan. Kemudian
Yeniseri sendiri dihapuskan. Dengan hilangnya Yeniseri, golongan ulama yang
anti pembaharuan juga sudah lemah kekuatannya. Sokongan dari Yeniseri dan
Tarekat Bektasyi tiada lagi. Sokongan dari penduduk ibu kota, yang selama ini
dapat diperoleh melalui Yeniseri dan Bektasyi, tidak mudah lagi dapat
dibangkitkan. Usaha-usaha pembaharuan di Kerajaan Usmani abad ke-19, dengan
demikian mulai dapat berjalan dengan lancar.[4]
Sultan Mahmud II dikenal sebagai sultan yang tidak mau terikat pada
tradisi dan tidak segan-segan melanggar adat kebiasaan lama. Berbeda dengan
para pendahulunya, Mahmud II bersikap demokratis dan selalu muncul di muka umum
untuk berbicara. Apabila rakyat menghadap kepadanya, mereka tidak perlu
berlutut seperti terhadap sultan-sultan sebelumnya. Untuk mengekang kekuasaan tak
terbatas para penguasa di daerah, Mahmad II melarang gubenur-gubenur untuk mengeksekusi
seseorang tanpa meminta pertimbangan lebih dahulu kepada pemerintah pusat di
Istanbul. Hukum bunuh untuk masa selanjutnya hanya bisa dikeluarkan oleh hakim.
Penyitaan terhadap harta sesorang yang dibuang atau dihukum mati ditiadakan.
Mahmud II hanya menugaskan seorang pegawai setelah ditatar lebih dahulu dan
gaji para pegawai ditingkatkan. Mahmud II juga melakukan
penyesuaian-penyesuaian dalam sistem paspor bagi para pelancong. Pada tahun
1832 ia merancang suatu sistem yang berkenaan dengan pelayanan pos secara
modern dan mengharuskan pelaksanaan karantina.[5]
Aspek terpenting yang dilaksanakan Mahmud II dalam bidang
pemerintahan adalah merombak sistem kekuasaan di tingkat penguasa puncak. Dalam
tradisi Kerajaan Ottoman sultan memiliki dua bentuk kekuasaan , yakni kekuasaan
temporal (duniawi) dan kekuasaan spiritual (rohani). Sebagai penguasa dunia ia
disebut sultan dan sebagai penguasa rohani disebut khalifah. Dalam
pelaksanaannya untuk urusan pemerintahan, sultan dibantu oleh sadrazam, sedangkan
untuk keagamaan dibantu oleh syaikh al-Islam. Jabatan sadrazam yang
sering menggantikan sultan bila sultan berhalangan dihapuskan oleh Mahmud II,
sebagai gantinya dibentuk jabatan perdana menteri yang membawahi
menteri-menteri untuk urusan dalam negeri, luar negeri, keuangan, dan
pendidikan dengan departemennya masing-masing. Para menteri memiliki kekuasaan
semi otonomi dan perdana menteri bertugas sebagai penghubung antara para
menteri dan sultan. Tugas perdana menteri sangat berkurang bila dibandingkan
dengan sadrazam sebelumnya.[6]
Kekuasaan yudikatif yang pada mulanya berada di tangan Sadrazam
dipindahkan ke tangan Syaikh Al-Islam. Tetapi dalam sistem baru ini, di samping
hukum syariat diadakan pula hukum sekuler. Yang terletak dibawah kekuasaan
Syaikh Al-Islam hanya hukum syariat. Hukum sekuler ini ia serahkan kepada Dewan
Perancang Hukum untuk mengaturnya. Di tahun 1838 keluarlah ketentuan tentang
kewajiban-kewajiban hakim dan pegawai negara dan prosedur yang harus dijalani
terhadap hakim dan pegawai yang melalaikan kewajiban-kewajiban. Juga ditentukan
hukum terhadap perbuatan korupsi. Sultan Mahmud II-lah yang pertama kali di
Kerajaan Usmani yang dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan
urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syariat dan urusan dunia diatur oleh
hukum bukan syariat yang dalam masa selanjutnya membawa kepada adanya hukum
sekuler di samping hukum syariat.[7]
Sebelum abad modern, pendidikan di Kerajaan Ottoman tidak menjadi
tanggung jawab kerajaan melainkan ditangani para ulama yang orientasinya hanya
pendidikan agama tanpa adanya pengetahuan umum. Sistem pendidikan seperti ini
menurut Mahmud II tidak akan mampu menjawab problematik umat di abad modern.
Sementara itu untuk mengubah kurikulum ketika itu merupakan suatu hal yang
sangat sulit. Oleh sebab itu, Mahmud II mencari terobosan dengan tetap
membiarkan sekolah tradisional berjalan dan mendirikan dua sekolah umum, yakni
Mekteb-I Ma’arif (Sekolah Pengetahuan Umum) dan Mekteb-I Ulum-u Edebiye
Tibbiye-I (Sekolah Sastra) yang siswanya adalah lulusan terbaik dari
madrasah-madrasah tradisional. Selain itu secara berturut-turut Mahmud II
mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik, Sekolah Kedokteran, dan Sekolah
Pembedahan. Pada tahun 1838 ia menggabungkan Sekolah Kedokteran dengan Sekolah
Pembedahan menjadi Dar-ul Ulum-u Hikemiye ve Mekteb-i Tibbiye-I Sahane dengan
menjadikan bahasa Perancis sebagai bahasa pengantarnya. Mahmud II tercatat
sebagai tokoh penganjur bahasa Perancis, karena menurutnya dengan menguasai
bahasa asing tersebut akan mempercepat laju alih ilmu-ilmu modern ke Turki,
khususnya Ilmu Kedokteran dan sekaligus menjadi kunci dalam penyerapan khazanah
pemikiran-pemikiran modern seperti polotik, militer, ekonomi, sosial, sains,
dan filsafat.[8]
Selain itu Sultan Mahmud II juga mengirimkan siswa-siswa ke Eropa,
untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi langsung dari sumber
pengembangan. Setelah mereka pulang ke tanah air, mereka banyak berpengaruh
terhadap usaha-usaha pembaharuan pendidikan.[9]
Sebagai halnya di Mesir zaman Muhammad Ali, tidak lama kemudian
timbullah pula di Kerajaan Usmani buku-buku dalam bahasa Turki mengenai ide-ide
modern Barat. Yang banyak jasanya dalam hal ini ialah Biro Penerjemahan yang
pada mulanya didirikan untuk menerjemahkan korespondensi internasional
Pemerintah Usmani. Pada tahun 1831 Sultan Mahmud II mengeluarkan surat kabar
resmi Takvim-I Vekayi. Sebagai diketahui Muhammaad Ali memulai Al-Waqa’I
ul-Misriyah di tahun 1828. Arti yang terkandung dalam kedua nama surat
kabar itu ialah daftar peristiwa, tetapi yang disiarkan di dalamnya bukan hanya
pengumuman pemerintah. Di samping itu terdapat pula artikel-artikel mengenai
ide-ide yang berasal dari Barat. Karena lebih luas kalangan pembacanya,
Takvim-i Vekayi lebih besar pengaruhnya dari buku-buku karangan penulis Turki
dalam memperkenalkan ide-ide modern kepada masyarakat Turki.[10]
Mahmud II melakukan perbaikan sumber-sumber ekonomi melalui sektor
pertanian mengingat daerah Turki terkenal daerah agraris yang cukup luas. Untuk
itu Mahmud II menghapuskan semua peraturan yang dibuat oleh amir, tuan tanah,
dan kaum feudal. Kemudian diganti dengan peraturan tentang hak pemilikan dan
penggunaan tanah yang keamanannya dilindungi. Perubahan ini melahirkan semangat
rakyat untuk mengolah lahan pertanian.[11]
C.
ANALISIS
Hanya sedikit informasi yang bisa kita dapat dari biografi Sultan
Mahmud II, tetapi pembaharuan-pembaharuan yang ia lakukan pada
masa pemerintahannya sangat besar sehingga kerajaan Usmani bertambah kuat. Dia
adalah pelopor pembaharuan di Turki. Sultan Mahmud II merupakan orang yang memiliki misi sama
dengan Muhammad Ali Pasya yaitu menghendaki perubahan. Sultan Mahmud II lahir ketika Islam masih
dalam keadaan yang lemah atau biasa dikenal dengan masa kemunduran. Sultan
Mahmud II menghendaki perubahan di Turki. Dia sangat berbeda dengan
sultan-sultan sebelumnya yang sangat mengkotomi antara pemimpin dan yang
dipimpin. Dalam artian, dahulunya jika orang ingin datang menghadap raja maka dia harus berlutut tapi ketika
kekuasaan berada di tangan Mahmud II semuanya berubah, dia juga tidak mau terikat dengan adat istiadat dan budaya Turki.
Pada awal kepemimpinannya Sultan Mahmud II tertuju pada perkembangan militer. Dia membentuk korps-korps
dan sebagainya dalam rangka memperkokoh kekuatan militer. Setelah itu Sultan
Mahmud tidak hanya terpusat kepada kemiliteran saja, tetapi dia juga mengembangkan pendidikan, sosial, politik dan ekonomi di Turki.
Melihat semua yang dilakukan oleh Sultan
Mahmud II, maka Sultan Mahmud II memiliki pemikiran yang sama dengn para tokoh
pembaharu islam yang lainnya, yaitu menghendaki perubahan dan membangkitkan
islam yang telah lama mundur, khususnya di daerah Turki.
D.
KESIMPULAN
Sultan Mahmud II adalah pelopor pembaharuan Islam di Turki. Dia
banyak melakukan pembaharuan (modernisasi) diantaranya:
1.
Pembaharuan
di bidang militer. Ia membentuk korps tentara baru yang pelatihnya dikirim dari
Mesir oleh Muhammaad Ali Pasya.
2.
Sultan
Mahmud II menerapkan sistem demokrasi dalam pemerintahan.
3.
Kedudukan
sadrazam dihapus dan diganti dengan
Perdana Menteri. Kekuasaan yudikatif yang pada mulanya di tangan sadrazam
dipindahkan ke Syekh Islam.
4.
Menghapus
hukuman mati yang biasa dilakukan para penguasa terhadap tersangka tanpa
melalui prosedur hukum.
5.
Menghapus
tradisi rakyat Turki, apabila mereka menghadap sultan maka mereka harus
berlutut.
6.
Pembaharuan
di bidang pendidikan. Dia memasukkan kurikulum pendidikan umum ke dalam lembaga
pendidikan madrasah.
7.
Mengirim
siswa-siswa untuk belajar di Eropa.
8.
Mendirikan
sekolah Kedokteran, Kemiliteran, Teknik dan Pembedahan.
9.
Mengadakan
pembaharuan di bidang Ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid 3.
Cet ke-3. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.
Nasution, Harun. 2011. Pembaharuan
dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Cet. Ke-14. Jakarta: Bulan
Bintang.
Zuhairini,dkk. 2008. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta: Bani Aksara.
[2]Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta:Bulan Bintang, 2011). hlm.83.
[3]
Ibid.
[4]
Ibid., hlm. 84.
[5]
Ensiklopedi Islam, Loc. Cit., hlm 113.
[6]
Ibid., hlm 114.
[7]
Harun Nasution, Op.Cit., hlm 86.
[8]
Ensiklopedi islam, Loc. Cit., hlm 114.
[9]
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta:PT. Bumi Aksara, 2008).
hlm. 120
[10]
Harun Nasution, Op.Cit., hlm 88.
[11]
Ensiklopedi islam, Loc. Cit., hlm 114.